Setiap pagi kubuka mata melihat plafon yang tercetak simetris sempurna, lampu gantung yang tepat diantara perpotongan diagonal yang ada. Jam dinding yang berdiameter 25 cm itu mengagetkanku, ternyata sudut 150 derajat terbentuk pada jarum pendek menunjuk angka 5 dan jarum panjang menunjuk angka 12. Segera kulepaskan diriku dari balok berisi kapuk padat ini, kuinjak beberapa kotak dengan simetris sempurna yang dingin berwarna abu-abu. Lalu ku sibakkan kain yang tertempel pada lubang persegi panjang itu. Bulat berwarna kuning menyapa pagiku, matahari. Aku takut apabila hidupku penuh dengan suatu kepastian, semua tercetak pada porsinya masing masing. Tak ada sedikitpun toleransi bahwa bumi akan berbentuk lonjong. Ataupun tanah bisa di selami oleh ku. Atau aku terbang.
Dengan segala ukuran serta bentuk kaku itu, aku bosan. Aku bosan dengan semua kesempurnaan, kesempurnaan di sekitarku. Kesempurnaan yang telah ada tanpa kuinginkan, kesempurnaan yang terjadi begitu saja. Walaupun aku selalu bersyukur, atas semua ukuran kepastian itu. Tangan kanan dan kiriku sempurna beriringan. Kakiku yang selalu ada pada tempatnya. Mata yang terbentuk simetris dengan hidung serta bibir. Aku juga takut. Apabila semua ini tidak simetris, tidak sempurna. Bagaimana kalau kakiku lebih besar dari badanku? bagaimana kalau hidungku lebih besar daripada kepalaku?
Apabila hati tak dapat merasa, bagaimana musik itu dilantunkan dengan segala dinamika yang ada. Transisi. Aku menemukan transisi yang membuat semua menjadi lebih halus, lebih indah apabila ku rasa. Seperti not Do bertemu dengan not Si, melompati lebih dari 5 tangga, terlalu jauh margin yang kulalui. Margin yang seharusnya bisa kunikmati dengan lembutnya. Mungkin transisi yang terlalu tajam lah menjatuhkanku, membuat hatiku terjatuh. Tak pernah terbayang apabila siang dan malam terjadi hanya dalam waktu 5 detik, aku takut hidupku sudah tak berguna. Sejenak kubuka mata, semua berubah. Dalam sekejap.
Terima kasih, Manusia. Manusia yang melihat semua dengan hati, karena melihat dengan mata sudah tak cukup lagi. Yang telah mengajarkanku bagaimana matahari tidaklah bulat, dan langit tidaklah biru. Bahwa pensil bisa bicara. Siapa bilang matahari panas? Dia hangat. Dia benar benar hangat, ucapkan itu. Hingga ku tak terasa. Neraka akan marah, neraka telah mengasah pisaunya. Terima kasih pisau neraka, yang telah kau asah dengan tajamnya. Kau dekatkan pisau itu di leher kiriku, nadi yang mengalir deras. Kau yang membuatku menjadi nyaman. Bukan pisau manusia yang penuh karat, selalu terabaikan. Membuat semua kepedihan menjadi perlahan. Terima kasih pisau neraka, membuatku nyaman pada permintaan terakhirku. Mereka tak memperdulikanku, mereka masih takut akan kau. Hanya pisaumu, neraka.
Terima kasih, Sastra. Yang memberikan tiupanmu dari musik yang kau ciptakan. Yang membuat telingaku lebih sadar, ternyata aku bisa mendengar suara hati burung, tak hanya bualan manusia. Bahkan denganmu, sastra. Aku bisa terbang tanpa sayap. Aku bisa melihat dalamnya samudra, bahkan bisa kulihat Tuhan. Denganmu sastra, aku bisa menjadi seekor harimau. Aku tau apa yang harimau lain inginkan, mereka inginkan hidup. Terima kasih sastra, atas semua ketidakteraturan yang kau ciptakan. Sungguh tak ada yang sama, tak ada yang munafik.
- 08.25
- 0 Comments