Munchen is Calling [Part 2]



Sepulangnya dari Olympiapark, perjalanan kembali menuju apartemen untuk beristirahat sejenak. Konon nanti malam sekitar pukul 19.00 berencana untuk pergi ke sebuah Opera House, kami bertiga yang hanya memiliki dua tiket pun harus mengatur strategi, akhirnya kami berdua yang masuk ke Opera House itu. Tiket Opera House yang hanya dapat dibeli jauh hari sebelum pentas pun merupakan kendala.
Opera House

Bagiku, pergi menonton sebuah Opera yang biasa ditonton oleh orang-orang dewasa dan berkelas pun merupakan sebuah event yang sangat membutuhkan perhatian khusus bagiku. Manusia super simple yang tidak pernah memperhatikan penampilannya, dipaksa secara halus untuk dressed up. Hampir semua penonton disana mengenakan Formal Attire,daripada mengenakan Jas dengan berbagai cara diplomasi akhirnya pilihan paling tepat tanpa ribet adalah mengenakan Batik. Meskipun begitu, perjanjian untuk lebih behave di Opera House aku pegang erat-erat. 


Kemegahan ala Eropa ini menjelaskan betapa tinggi kasta mereka, saat itu. 

“Taufik, I just want you to know that this isn’t biggest Opera House in this city, we have bought two more Opera performances this week, you are lucky!”

Ternyata Opera House sebesar, semegah bahkan se high-class itu bukan yang terbesar. Cukup menyedihkan, selama ini tidak mengasah kemampuan Bahasa Jerman dengan tekun, yang berakhir pada tidak pahamnya apa yang mereka ceritakan. But the gestures picturize it well. Selain itu larangan untuk membawa kamera cukup membuat sulit dalam mengabadikan momen.
Bavarian State Opera

Ada sebuah pelajaran yang bisa dipetik dari menonton sebuah Opera. Selesai pertunjukan, semua penonton berdiri sambil tepuk tangan paling meriah, dan itu dilakukan selama kurang lebih 10 hingga 15 menit. Jujur, itu melelahkan, silahkan dicoba.

Apresiasi yang luar biasa, membuat merinding dan terharu, sungguh. Sungguh rasanya indahnya sebuah apresiasi. Keikhlasan tepuk tangan serta senyum yang terpancar benar-benar membuatku jatuh hati, jatuh hati kepada sebuah kekuatan apresiasi. 

Setelah selesainya pertunjukan, ada sebuah tradisi yaitu minum di Bar yang ada di setiap Opera House. 

“Which one, Cola or Juice?”
Fine dining at Opera

Itulah yang selalu Opa tanyakan, statusku sebagai seorang Muslim, serta pengertian beliau mengenai kepercayaanku, dia tidak pernah menawarkanku Pork atau Wine. Dan hanya dua minuman itu yang selalu aku pesan, kemanapun aku pergi.

Kebiasaan bangun pagi pada pukul 5 merupakan sebuah kebingungan pada hari ketiga. Itu adalah waktu dimana semua orang belum beraktifitas, namun matahari sudah seperempat hari berada di tengah bumi. Berteman dengan buku adalah aktifitas paling tepat pada pagi hari, hampir setiap hari. 

Berencana ke Museum Munich Residence, yang merupakan sebuah tempat dulunya tempat tinggal bagi petinggi Bavaria’s Dynasty. Lokasi ini berada tepat di sebelah Bavarian State Opera House, residence ini memiliki arsitektur dengan detail yang penuh dengan komposisi warna emas, di beberapa sisi memiliki kombinasi red-gold dan blue-gold. Arsitektur di dinding hingga langit-langit, apakah terbayangkan pada ratusan tahun yang lalu, negeri Bavaria sudah memiliki istana semegah itu?
Rezidenz Museum

Ditemani dengan sebuah translator device yang bentuknya seperti sebuah telepon genggam dengan versi yang sangat besar, akhirnya dapat mengetahui sejarah tiap-tiap arsitektur yang ada. Penjelasan pun sangat baik tersampaikan, bahkan device tersebut memiliki belasan bahasa, sehingga memudahkan bagi pelancong yang berasal dari berbagai negara. 


Hari keempat berada di Museum BMW, salah satu mobil mewah yang digunakan oleh ribuan konglomerat karena kekuatan dari mobilnya. Keberadaan Museum BMW adalah sebuah status yang kuat bagi posisi Munchen akan maju serta berkelasnya kota ini. Cuaca yang tidak mendukung akhirnya membatalkan rencana untuk menaiki sebuah tower untuk melihat kota ini dari atas. Pertunjukan didalam Museum berisi tentang mobil-mobil yang di produksi BMW dari dulu serta mobil terbaru. Dan ternyata BMW memiliki produk berupa sepeda motor, dengan klasifikasi Motor Gede.
BMW Museum

Seperti biasa, cuaca yang kurang baik itu kami manfaatkan meminum kopi di BMW Café, berlokasi di lantai dua gedung ini.
BMW Museum Cafe

Berlanjut menuju sebuah festival bernama Artgeteches Munchen atau di Indonesia biasa disebut pasar malam, yang di Munchen hanya ada pada saat Summer. Dikarenakan banyak yang belum buka, akhirnya kami pulang. Lokasi Artgeteches Munchen berada di balik bukit, cukup tertutup namun sangat seru untuk cycling. 
Summer Festival

Hari kelima cukup melelahkan karena pergi ke suatu tempat berlibur para Raja Munchen, sebuah tempat asri serta banyak turis. 

Munchen Castle

Hari ke enam dan ke tujuh. Akhirnya setelah berhari-hari melakukan diplomasi, berakhir pada bolehnya pergi sendiri. 

“I don’t give you any permission to go somewhere by yourself!”, ucapnya hari pertama. Mematahkan semangat untuk explore Munchen sendiri, sehingga Itinerary yang telah tersusun rapi harus di replace dengan Itinerary yang telah beliau tetapkan. Akhirnya tiket yang diberikan pun tidak diperguanakan sepenuhnya, jalan kaki jauh lebih seru. Dengan alasan ingin pergi melihat kembali Universiteit akhirnya diizinkan, dengan batasan waktu tertentu. Akhirnya menemukan beberapa tempat yang belum terjamah sebelumnya, cukup banyak malah. Dibekali dengan sebuah Handphone akhirnya melanglang buana sendirian, hanya berbekal sebuah peta. 

Hari terakhir adalah bersamaan dengan Idul Fitri. Dengan berbagai macam cara, aku yang hanya muslim seorang meminta beliau mencarikan tempat untuk sholat Ied. Setelah googling, terdapat beberapa masjid yang ada di Munchen, karena hasrat yang sangat tinggi untuk pergi ke Allianz Arena, kandang Bayern Munchen. Lalu ada sebuah Islamic Centrum yang lokasinya bersebrangan dengan Allianz Arena, akhirnya berbagai macam diplomasi telah dilakukan hingga dibuatkan sebuah petunjuk yang sangat detail, pastinya agar tidak tersesat. Di salah satu kota terbesar di Germany, adalah hal sulit bagi pendatang baru sepertiku memahami jalan. Pernah membaca bahwa Pak B.J. Habibie mewakafkan tanahnya untuk dijadikan Islamic Centrum di Munchen, dan kemungkinan besar itu adalah lokasi dimana aku sholat Ied.

“How can I become an independent person in the country I haven’t lived in if I am restricted to go somewhere by myself? How can I learn something new next week, and go Amsterdam by myself”, itulah powerful argument yang akhirnya memberikan tiket untuk explore sendiri di kota ini.
Beberapa konsiderasi mengapa aku tidak diperbolehkan pergi sendiri adalah pertama komunikasi. Telepon genggamku tidak memiliki kartu disana, sehingga tidak dapat dipergunakan, meskipun untuk Telkomsel mencakup area Munchen bahkan Amsterdam. Kedua adalah keterbatasan warga Jerman yang mampu berbicara bahasa inggris dengan baik, itu adalah kendala terbesar bagiku, kebiasaan untuk bertanya orang pun menjadi sebuah masalah. 

Pengalaman yang membuat merinding adalah ketika berada didalam sebuah bus menuju Islamic Centrum yang banyak berisi dengan 20an orang Arab yang juga memiliki tujuan yang sama. 

“Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Lailaahailallahuallahuakbar. Allahuakbar walilahilham.”, seruan kami didalam bus.

Sungguh tak pernah kulakukan hal ini di negaraku sendiri, ternyata di negeri yang mayoritas tidak menganut agama Islam pun mereka sangat menghargai sebuah Idul Fitri. Tidak hanya itu, sepulangnya aku bertanya kepada seorang supir “Why the machine doesn’t work well?”, kebingungan terjadi karena tidak berjalan. Ternyata sang sopir tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa inggris, akhirnya aku meminta kepada seorang wanita Arab untuk menanyakan kenapa mesin tidak berjalan. Ternyata, khusus hari Idul Fitri maka bus menuju Islamic Centrum digratiskan oleh pemerintah. Kaum minoritaspun sangat dihargai di Jerman, bahkan sebuah agama yang terkenal dengan melahirkan kaum teroris itu tidak pernah mendapatkan diskriminasi. Indonesia harus belajar menghargai kaum minoritas dari negara ini, harus!

Berjarak sekitar 500 meter, terdapat sebuah stadion megah yang menjadi salah satu icon di Munchen. Bahkan, ini adalah satu dari dream list yang harus aku kunjungi yaitu "Allianz Arena". Allianz Arena adalah kandang Bayern Munchen yang iconic dengan LED lamp yang bisa berubah warna ketika datang gelap.

See my outfits during Idul Fitri

Must-visit place

Selama tepat tujuh hari di Munchen, merasakan tiga buah Opera House megah dan berkelas. Sedikit kekecewaan karena ada sebuah tempat impian yaitu Neuschwanstein. Kastil ini berada diluar kota Munchen, dengan Arsitektur yang sangat mirip dengan negeri dongeng, konon Arsiteknya adalah salah satu Raja Ludwig. Beliau mewujudkan kastil yang ada di dongeng menjadi sebuah kastil megah dengan lokasi di atas pegunungan, persis seperti di dongeng-dongeng.
Neuschwanstein

Selain itu, belum kesampaian untuk berkunjung ke Technische Universitat Munchen yang tersohor di benua Eropa itu.
Technische Universitat Munchen

Pada hari terakhir, disaat semua sudah terasa nyaman dan menyenangkan, harus pergi ke sebuah kota sendiri. Keberadaan Munchen menjadi sebuah awal petualangan yang benar-benar penuh kejutan.

Terima kasih, Tuhan. Atas semua kejutan yang telah Engkau persiapkan. Aku siap menerima kejutan-kejutan selanjutnya, untuk mengunjungi berbagai negara yang ada di berbagai belahan dunia. Aku siap, Tuhan.

Munchen is calling.

Pagi itu kamar berantakan. Kertas hasil dokumen-dokumen penting pun berserakan. Sambil membuka semua file di Folder untuk ditandai –finished.doc setelah selesai dicetak. Di sebelahnya terdapat sebuah koper yang sudah diisi beberapa potong baju dengan menggunakan teknik melipat ala backpacker, tidak lain tidak bukan memang untuk menghemat ruang. Lima bungkus Indomie, 2 Popmie serta BonCabe tak luput dari cengkraman sang koper. Demi survive di negeri orang, tak apa toh? Menyedihkan memang menjadi seorang yang konservatif sama makanan. Yang sangat tidak mau untuk mencoba makanan yang baru. Bagaimana tidak, untuk tinggal di negeri orang, mana mungkin ada warteg tersedia di pengkolan depan kampus?

“Worst case itu harus ditanggulangi”. Tiba-tiba terlintas di pikiran tentang salah satu prinsip itu. Sebagai Solo Traveller yang akan menjejakan kaki pertama kalinya di benua yang berisi dengan negara-negara maju, menuntut persiapan ekstra. Beberapa dokumen maupun tiket langsung segera di cetak double. Ya biar semua lebih well-planned dan well-managed apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Satu-satunya the most affordable transportation ke airport dari Depok adalah Bus Hiba Utama. Cukup mengeluarkan 1 lembar uang rupiah berwarna biru(dan wangi yang menggoda) sudah bisa menikmati dinginnya AC dengan kursi empuk sambil mengantarkan kita ke Airport.

Sesampainya di Terminal 2D, baru masuk pintu pertama seperti melihat seseorang yang tidak asing yang tadi pagi-pagi telepon cuma buat nanya “Mau dianterin ga?”, dan seperti biasa, tolakan berpihak kepadanya. Ternyata, nekat juga ini anak. Dengan muka kucel yang entah kenapa, dia sambil menyodorkan beberapa makanan untuk dibawa. Pasti dibawa. Setelah itu, perpisahan.

================================Loading================èAmsterdam======èMunchen.

“Muncheeeeeenn!!!!!!!!!!!!!!!!” Teriakan dalam hati. Setelah penjemputan akhirnya pergi ke sebuah café di daerah Technische Universität München, sebuah Universitas Teknik nomor wahid di Germany. Tenang, damai dan sejahtera, pikirku kembali. Summer adalah waktu yang tepat untuk mencicipi hangatnya matahari menyentuh kulit secara langsung. Terlebih saat itu pukul 02 PM yang matahari sedang berada tepat di kepala kita. Di terik panas, meja bundar kecil dengan dua kursi pun menjadi pilihan yang tepat, untuk tiga orang. Sambil menikmati cappuchino serta sepotong roti berisi strawberry jam, lalu lalang mahasiswa bersepeda terlihat seperti tidak memiliki beban. Sepeda yang merupakan moda transportasi utama di kota ini memang sangatlah dekat dengan kehidupan penduduknya. Kampus ternama tersebut memberikan aura teknik yang sangat kental akan kekakuan, disiplin dan tepat. “You need to study here, you will get the ambiance.”, ucapnya. Bersekolah di jurusan Computer Science memanglah dekat dengan teknik, atau bahkan untuk di negara-negara eropa Computer Science biasa disebut Informatics Engineering. Ya bagian dari teknik, bagian dari kampus ini juga. Ia berkata bahwa saya cocok untuk melanjutkan study disini, sambil menyeruput cappuchino hangat itu. "Sorry for my idealism, i will get out from my way anyway", gerutuku dalam hati.
Dari dalam Schiphol Airport saat menunggu pesawat ke Munchen, 

Bus menuju ke pesawat Lufthansa

Pemandangan dari luar Airport Munich

Allianz Arena terlihat di jalan tol


Di perjalanan, melewati sebuah tol yang tidak crowded, tidak seperti di Jakarta. Pemandangan dari dalam mobil pun disuguhkan berbagai macam pemandangan, “Kota ini memang hijau”, gumamku dalam hati. Terlintas ada Allianz Arena yang namanya cukup harum di berbagai belahan dunia itu, terpotret dengan tidak baik dalam ponselku. “Harus kesana!”, ucapku lirih supaya tak terdengar oleh mereka. Obrolan bahasa Deutschland yang memang tak pernah bisa dimengerti, memberikan kesempatan untuk mencari aktifitas lain. Tak terasa mobil sudah berada di depan sebuah apartemen di sebuah persimpangan yang dekat dengan jalur tram itu, Franz Jozeph Strasse. Hanya kurang lebih 500 meter dari sini, terdapat sebuah alun-alun kota dan pusat kota yang berisi Shopping Centrum yang konon baju-baju disana seharga mobil di Indonesia. Selain itu, Ludwig Maximilian University Munich yang ternyata adalah juga kampus nomor wahid di Germany berada di sebelah persimpangan dekat dengan GisellaStrasse, ujung depan dari koridor apartemen ini.
Hari pertama, langsung menuju EnglischeGarten yang berada di belakang Universiteit(kata orang Munich). Mungkin taman ini berukuran sama dengan Hutan kampus Universitas Indonesia di depok, lengkap dengan danau nya yang cukup luas. Sambil menikmati buah cherry yang dibeli di jalan menuju ke pusat taman, terlihat ramai sekali mahasiswa yang sedang berjemur. “Pantaslah mereka kalau di pantai berpakaian seperti itu”, ucapku. Di Indonesia tidaklah lazim seseorang berjemur di bawah terik panasnya matahari hanya menggunakan bikini atau celana renang saja, sekalipun di pantai.

“It was a reversed moment, I think”. Bahkan mereka yang hanya berjemur di danau saja sudah berpakaian seperti ini.

Banyak restoran yang buka yang menyediakan banyak makanan dan minuman. Restorannya pun sangat beragam pastinya. Ada yang di tengah taman, ada yang di pinggir danau, bahkan ada di pinggir sungai yang konon airnya langsung dari gunung Alpen. “You don’t need to know how cold this water is”, ucapnya sambil menunjuk sungai kecil yang hanya beberapa gelintir orang saja yang berani berendam ditempat itu. Berbagai macam atraksi yang di pertontonkan pun sangat menarik, mulai dari musik yang menggema di belantara hutan mungil itu serta Surfing.

“Are you crazy to do surfing in a river?”, tanyaku.

“Just let see it!”, ucapnya sambil berjalan mengarah sebuah sungai yang memiliki arus yang deras.

“Dammit!” sambil lari kecil ke pinggiran sungai ini.

“How come?” kataku sambil menunjuk. Takjub memang, tapi sungai dengan arus yang besar ini memang biasa digunakan untuk surfing atau hanya latihan saja. Tetapi memang digunakan untuk Surfing activities. Lengkap kostum mereka yang beberapa kali terlihat sangat familiar ketika berjalan-jalan di pantai Kuta, Bali. Dan akhirnya tenggelam dalam riuhnya summer di negara sub tropis ini.

Sepulangnya jalan-jalan, “I want to go there”, sambil menunjuk sebuah gerbang raksasa khas eropa yang megah dengan ornamen khas negara ini. Yang ternyata adalah sebuah Gate untuk masuk Universiteit. Dan letaknya tepat di dekat pintu gerbang Englischegarten ini.

Hari kedua. Matahari bersinar terik, hari itu berencana untuk menepati janji dengan seorang dari Amerika di sebuah tempat yang sangat unik, Olympiapark. Setelah raket serta bola lengkap dengan topi serta kacamata hitam, ayuhan sepeda beranjak menuju tempat yang telah dijanjikan sebelumnya. Sebuah lapangan tenis yang terdiri sekitar belasan lapangan tersebut ternyata sudah penuh terpesan, untuk lapangan yang terbaik. Dengan terpaksa maka harus memesan lapangan yang kualitasnya katanya biasa saja, namun mungkin lapangan yang mereka bilang biasa saja tersebut sangatlah berkualitas baik yang pernah saya temui di Boyolali, tempat kelahiran dan tempat bertumbuh.

Sport is a cable for connecting people itu memang benar. Kawan yang dulunya bersama bisa kembali akrab setelah melakukan sport, tenis adalah salah satunya.


“Two cola please”, ucapnya diiringi dengan pelayan wanita yang berada di depannya itu. Di belakang stadion Olympia, serta tepat di sebelah Lapangan tenis yang kami pesan, untuk kedua kalinya hari ini.


Munchen, 18 Juli 2015
11:27