Munchen is Calling [Part 2]
13.54
Sepulangnya
dari Olympiapark, perjalanan kembali menuju apartemen untuk beristirahat
sejenak. Konon nanti malam sekitar pukul 19.00 berencana untuk pergi ke sebuah
Opera House, kami bertiga yang hanya memiliki dua tiket pun harus mengatur
strategi, akhirnya kami berdua yang masuk ke Opera House itu. Tiket Opera House
yang hanya dapat dibeli jauh hari sebelum pentas pun merupakan kendala.
Opera House
Bagiku,
pergi menonton sebuah Opera yang biasa ditonton oleh orang-orang dewasa dan
berkelas pun merupakan sebuah event yang sangat membutuhkan perhatian khusus
bagiku. Manusia super simple yang tidak pernah memperhatikan penampilannya,
dipaksa secara halus untuk dressed up.
Hampir semua penonton disana mengenakan Formal
Attire,daripada mengenakan Jas dengan
berbagai cara diplomasi akhirnya pilihan paling tepat tanpa ribet adalah
mengenakan Batik. Meskipun begitu, perjanjian untuk lebih behave di Opera House
aku pegang erat-erat.
Kemegahan
ala Eropa ini menjelaskan betapa tinggi kasta mereka, saat itu.
“Taufik,
I just want you to know that this isn’t biggest Opera House in this city, we
have bought two more Opera performances this week, you are lucky!”
Ternyata
Opera House sebesar, semegah bahkan se high-class itu bukan yang terbesar. Cukup
menyedihkan, selama ini tidak mengasah kemampuan Bahasa Jerman dengan tekun,
yang berakhir pada tidak pahamnya apa yang mereka ceritakan. But the gestures picturize
it well. Selain itu larangan untuk membawa kamera cukup membuat sulit dalam
mengabadikan momen.
Bavarian State Opera
Ada
sebuah pelajaran yang bisa dipetik dari menonton sebuah Opera. Selesai pertunjukan,
semua penonton berdiri sambil tepuk tangan paling meriah, dan itu dilakukan
selama kurang lebih 10 hingga 15 menit. Jujur, itu melelahkan, silahkan dicoba.
Apresiasi
yang luar biasa, membuat merinding dan terharu, sungguh. Sungguh rasanya
indahnya sebuah apresiasi. Keikhlasan tepuk tangan serta senyum yang terpancar
benar-benar membuatku jatuh hati, jatuh hati kepada sebuah kekuatan apresiasi.
Setelah
selesainya pertunjukan, ada sebuah tradisi yaitu minum di Bar yang ada di
setiap Opera House.
“Which
one, Cola or Juice?”
Fine dining at Opera
Itulah
yang selalu Opa tanyakan, statusku sebagai seorang Muslim, serta pengertian
beliau mengenai kepercayaanku, dia tidak pernah menawarkanku Pork atau Wine.
Dan hanya dua minuman itu yang selalu aku pesan, kemanapun aku pergi.
Kebiasaan
bangun pagi pada pukul 5 merupakan sebuah kebingungan pada hari ketiga. Itu
adalah waktu dimana semua orang belum beraktifitas, namun matahari sudah seperempat
hari berada di tengah bumi. Berteman dengan buku adalah aktifitas paling tepat
pada pagi hari, hampir setiap hari.
Berencana
ke Museum Munich Residence, yang merupakan sebuah tempat dulunya tempat tinggal
bagi petinggi Bavaria’s Dynasty. Lokasi ini berada tepat di sebelah Bavarian
State Opera House, residence ini memiliki arsitektur dengan detail yang penuh
dengan komposisi warna emas, di beberapa sisi memiliki kombinasi red-gold dan blue-gold. Arsitektur di dinding hingga langit-langit, apakah
terbayangkan pada ratusan tahun yang lalu, negeri Bavaria sudah memiliki istana
semegah itu?
Rezidenz Museum
Ditemani
dengan sebuah translator device yang bentuknya seperti sebuah telepon genggam
dengan versi yang sangat besar, akhirnya dapat mengetahui sejarah tiap-tiap
arsitektur yang ada. Penjelasan pun sangat baik tersampaikan, bahkan device
tersebut memiliki belasan bahasa, sehingga memudahkan bagi pelancong yang
berasal dari berbagai negara.
Hari
keempat berada di Museum BMW, salah satu mobil mewah yang digunakan oleh ribuan
konglomerat karena kekuatan dari mobilnya. Keberadaan Museum BMW adalah sebuah
status yang kuat bagi posisi Munchen akan maju serta berkelasnya kota ini. Cuaca
yang tidak mendukung akhirnya membatalkan rencana untuk menaiki sebuah tower
untuk melihat kota ini dari atas. Pertunjukan didalam Museum berisi tentang
mobil-mobil yang di produksi BMW dari dulu serta mobil terbaru. Dan ternyata
BMW memiliki produk berupa sepeda motor, dengan klasifikasi Motor Gede.
BMW Museum
Seperti
biasa, cuaca yang kurang baik itu kami manfaatkan meminum kopi di BMW Café,
berlokasi di lantai dua gedung ini.
BMW Museum Cafe
Berlanjut
menuju sebuah festival bernama Artgeteches Munchen atau di Indonesia biasa
disebut pasar malam, yang di Munchen hanya ada pada saat Summer. Dikarenakan
banyak yang belum buka, akhirnya kami pulang. Lokasi Artgeteches Munchen berada
di balik bukit, cukup tertutup namun sangat seru untuk cycling.
Summer Festival
Hari
kelima cukup melelahkan karena pergi ke suatu tempat berlibur para Raja
Munchen, sebuah tempat asri serta banyak turis.
Munchen Castle
Hari
ke enam dan ke tujuh. Akhirnya setelah berhari-hari melakukan diplomasi,
berakhir pada bolehnya pergi sendiri.
“I
don’t give you any permission to go somewhere by yourself!”, ucapnya hari
pertama. Mematahkan semangat untuk explore Munchen sendiri, sehingga Itinerary
yang telah tersusun rapi harus di replace
dengan Itinerary yang telah beliau tetapkan. Akhirnya tiket yang diberikan pun
tidak diperguanakan sepenuhnya, jalan kaki jauh lebih seru. Dengan alasan ingin
pergi melihat kembali Universiteit akhirnya diizinkan, dengan batasan waktu
tertentu. Akhirnya menemukan beberapa tempat yang belum terjamah sebelumnya,
cukup banyak malah. Dibekali dengan sebuah Handphone akhirnya melanglang buana
sendirian, hanya berbekal sebuah peta.
Hari
terakhir adalah bersamaan dengan Idul Fitri. Dengan berbagai macam cara, aku
yang hanya muslim seorang meminta beliau mencarikan tempat untuk sholat Ied. Setelah
googling, terdapat beberapa masjid yang ada di Munchen, karena hasrat yang
sangat tinggi untuk pergi ke Allianz Arena, kandang Bayern Munchen. Lalu ada
sebuah Islamic Centrum yang lokasinya bersebrangan dengan Allianz Arena,
akhirnya berbagai macam diplomasi telah dilakukan hingga dibuatkan sebuah petunjuk
yang sangat detail, pastinya agar tidak tersesat. Di salah satu kota terbesar
di Germany, adalah hal sulit bagi pendatang baru sepertiku memahami jalan. Pernah
membaca bahwa Pak B.J. Habibie mewakafkan tanahnya untuk dijadikan Islamic
Centrum di Munchen, dan kemungkinan besar itu adalah lokasi dimana aku sholat
Ied.
“How
can I become an independent person in the country I haven’t lived in if I am
restricted to go somewhere by myself? How can I learn something new next week,
and go Amsterdam by myself”, itulah powerful
argument yang akhirnya memberikan tiket untuk explore sendiri di kota ini.
Beberapa
konsiderasi mengapa aku tidak diperbolehkan pergi sendiri adalah pertama komunikasi.
Telepon genggamku tidak memiliki kartu disana, sehingga tidak dapat
dipergunakan, meskipun untuk Telkomsel mencakup area Munchen bahkan Amsterdam. Kedua
adalah keterbatasan warga Jerman yang mampu berbicara bahasa inggris dengan
baik, itu adalah kendala terbesar bagiku, kebiasaan untuk bertanya orang pun menjadi
sebuah masalah.
Pengalaman
yang membuat merinding adalah ketika berada didalam sebuah bus menuju Islamic
Centrum yang banyak berisi dengan 20an orang Arab yang juga memiliki tujuan
yang sama.
“Allahuakbar
Allahuakbar Allahuakbar, Lailaahailallahuallahuakbar. Allahuakbar
walilahilham.”, seruan kami didalam bus.
Sungguh
tak pernah kulakukan hal ini di negaraku sendiri, ternyata di negeri yang
mayoritas tidak menganut agama Islam pun mereka sangat menghargai sebuah Idul
Fitri. Tidak hanya itu, sepulangnya aku bertanya kepada seorang supir “Why the
machine doesn’t work well?”, kebingungan terjadi karena tidak berjalan. Ternyata
sang sopir tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa inggris, akhirnya aku meminta
kepada seorang wanita Arab untuk menanyakan kenapa mesin tidak berjalan. Ternyata,
khusus hari Idul Fitri maka bus menuju Islamic Centrum digratiskan oleh
pemerintah. Kaum minoritaspun sangat dihargai di Jerman, bahkan sebuah agama
yang terkenal dengan melahirkan kaum teroris itu tidak pernah mendapatkan
diskriminasi. Indonesia harus belajar menghargai kaum minoritas dari negara
ini, harus!
Berjarak sekitar 500 meter, terdapat sebuah stadion megah yang menjadi salah satu icon di Munchen. Bahkan, ini adalah satu dari dream list yang harus aku kunjungi yaitu "Allianz Arena". Allianz Arena adalah kandang Bayern Munchen yang iconic dengan LED lamp yang bisa berubah warna ketika datang gelap.
Berjarak sekitar 500 meter, terdapat sebuah stadion megah yang menjadi salah satu icon di Munchen. Bahkan, ini adalah satu dari dream list yang harus aku kunjungi yaitu "Allianz Arena". Allianz Arena adalah kandang Bayern Munchen yang iconic dengan LED lamp yang bisa berubah warna ketika datang gelap.
See my outfits during Idul Fitri
Must-visit place
Selama
tepat tujuh hari di Munchen, merasakan tiga buah Opera House megah dan
berkelas. Sedikit kekecewaan karena ada sebuah tempat impian yaitu Neuschwanstein.
Kastil ini berada diluar kota Munchen, dengan Arsitektur yang sangat mirip
dengan negeri dongeng, konon Arsiteknya adalah salah satu Raja Ludwig. Beliau mewujudkan
kastil yang ada di dongeng menjadi sebuah kastil megah dengan lokasi di atas
pegunungan, persis seperti di dongeng-dongeng.
Neuschwanstein
Selain
itu, belum kesampaian untuk berkunjung ke Technische Universitat Munchen yang
tersohor di benua Eropa itu.
Technische Universitat Munchen
Pada
hari terakhir, disaat semua sudah terasa nyaman dan menyenangkan, harus pergi
ke sebuah kota sendiri. Keberadaan Munchen menjadi sebuah awal petualangan yang
benar-benar penuh kejutan.
Terima
kasih, Tuhan. Atas semua kejutan yang telah Engkau persiapkan. Aku siap menerima
kejutan-kejutan selanjutnya, untuk mengunjungi berbagai negara yang ada di
berbagai belahan dunia. Aku siap, Tuhan.
2 komentar
opo iki pek?
BalasHapusIni space min. Biar well-ordered. Ini mau gue isi cerita di munchen, tapi blm sempat. Karena gue harus nulis cerita di amsterdam dulu. Biar rapi aja ntar
Hapus