Lelah yang hilang seketika saat berada di Amsterdam.

23.08

“ZIP code nya apa ya?”, ujarku sambil kebingungan melihat sebuah amplop yang isinya adalah kunci kamar. Setelah sesampainya di apartemen, tanpa menunggu panjang langsung menyalakan laptop untuk memberi kabar via internet. Sebelumnya kami sudah diberi tahu untuk mengharuskan kami membawa kabel LAN(ethernet cable) untuk internet, karena disini tidak tersedia wifi. Adapun wifi namun harus ke café atau sport centrum terlebih dahulu. Saat melakukan registrasi aku memasukan beberapa informasi yang harus diisi, seperti nama apartemen, alamat, nomor kamar dan ZIP code.

“ZIP code?”, kataku sambil mencari tulisan yang berisi gabungan 4 angka dan 2 huruf itu. Setelah dicari ternyata tidak ada!

“Bagaimana ini?”, sambil kebingungan. Kebingungan mulai karena internet adalah salah satu media untuk mengerjakan tugas kampus nantinya.

Saat itu terdengar suara dari ruang dapur.
“Ahhaaa”, sambil lari ke dalam dapur yang ternyata ada seorang berkulit negro sedang memasak. Dia seperti memasak tepung yang di isi air dalam loyang. “Entahlah itu makanan apa”, pikirku dalam hati.

“Haloooooo”, sapaan ramah terhadap semua orang disini. Di belanda kita tidak perlu sungkan untuk “say hi” kepada setiap orang yang kita temui. Lalu dia membalas sapaan itu sambil menyunggingkan senyum simetrisnya keatas.

“I have a problem with my internet registration, when I was entering codes that should be filled in the form. I need an information regarding the ZIP Code of this building”, ucapku bertanya.

Saat itu entah dia masih kaget atau kebingungan ia masih tidak mengerti maksudnya ZIP code. Lalu aku berfikir lagi sebuah kata-kata ZIP code. Post Code! Setelah itu dia mengerti dan menuliskannya pada sebuah sticky notes.


Alamat serta postcode Apartemen

Setelah lari ke kamar lalu aku masukan code tersebut dan that is working! Finally got that life. Pada jaman sekarang tak dapat dipungkiri kita tidak dapat hidup tanpa internet. You guys in favor with my argument?
Ternyata waktu menunjukan pukul 19:30 meskipun masih terang benderang dan panas. Langsung buru-buru mandi karena tadi sudah ada janji dengan seseorang teman di café pukul 20:00. Seperti yang kita tahu, orang-orang disini sangatlah tepat waktu. Lima menit terlambat pun ya tetap terlambat! Itulah kenapa aku segera mandi supaya tidak terlambat. Lokasi café hanya berada di bawah apartemenku ini, jadi  sangatlah dekat. Pada pukul 20:00 tibalah dia di depan café, langsung kupanggil dia.

“Majiiid!”, teriakku di depan café. Seorang anak laki-laki dengan postur tubuh yang kurang lebih sama denganku, berwajah pakistan asli.


Suasana di depan kafe. Kafe sebelah kiri dan minimarket sebelah kanan.

“Haiiii”, ucapnya. Memang aksennya sangat kentara, yaitu british. Aksen british memang aksen yang cukup susah di mengerti dibandingkan semua aksen orang-orang barat lainnya. Dia adalah Amsterdam Summer Course student juga yang berasal dari UK(United Kingdom). Meskipun kami berbeda course, tetapi tadi saat perjalanan ke apartemen kami sudah janjian.

“Taufik, I will go to café at 8”, ujarnya tadi. Lalu saya mengiyakan.

Setelah bertemu dan sedikit ngobrol akhirnya kami menentukan untuk pergi ke kota.

“I want something beautiful out of there to go Amsterdam Centrum, if you don’t mind so we can go there right now”, ucapnya. Sambil membuka map yang diberikan oleh panitia Amsterdam Summer School.

“Do you know how to get there?”, tanyaku sambil menunjuk Amsterdam Central pada peta.

“I am not sure actually, but may we use tram number 5 to go central”, ucapnya dengan nada pelan.

“Just let go, just let get lost in Amsterdam!”, ucapku dengan semangat.

“Are you really?”, tanyanya dengan ekspresi yang sangat excited.

“Yes, I am. I want to explore Amsterdam more”, jawabku meyakinkan.

Dengan penuh semangat kami berjalan menuju halte tram(subway) yang berada dekat dengan apartemen kami. Ternyata memang benar bahwa apabila akan pergi ke Central harus menggunakan tram nomor 5.
Setelah berada di dalam bus aku bertanya. “How to pay this tram?”

“I don’t know, maybe there will be a staff going here and ask money to buy a ticket.”, jawabnya dengan ragu.

Karena memang waktu itu cukup ramai dan kita duduk dibelakang, maka sampai kami di tempat pemberhentian Amsterdam Central pun kami tidak menemui seorang kondektur atau staff yang meminta uang untuk membayar tiket. Setelah turun aku bertanya, “How to pay the ticket?”. “I don’t know, everyone doesn’t buy a ticket so we do”, jawabnya.

“Ohh okay”, jawabku dengan cukup tenang. Let it go saja pikirku.


Salah satu kanal di Amsterdam


Foto dipinggir kanal

Sesampainya disana, kami pergi ke berbagai tempat sambil ngobrol-ngobrol. Kita melihat-lihat souvenir dan makanan-makanan yang ada disana. Sesekali kami duduk di pinggir kota melihat indahnya kota amsterdam. Melihat kanal-kanal yang sebelumnya belum pernah kita lihat. Karena sebelumnya aku sudah makan malam, maka Majid yang mulai kelaparan berkata.

“I need something to eat, I haven’t eaten dinner”, ucapnya dibawah sebuah gedung tua dengan ornamen jam besar yang sedang menunjukan pukul 22:30.

Sambil berjalan menyusuri kota, kami melihat makanan di sepanjang jalan. Banyak sekali makanan disana, namun karena Majid juga seorang muslim maka ia mencari tempat makan yang halal. Di seberang pemesanan tiket “Canal Tour” terdapat masakan turki yang menggoda. Akhirnya Majid memesan sebuah makanan yang aku tidak tahu namanya. Sambil duduk lalu HP nya berbunyi.

“Ting tung”, suara yang berasal dari HP majid.

“Wifi!!”, ucapnya dengan muka sangat sumringah. Akupun juga ikut sumringah, menemukan wifi adalah surga bagi kami karena kami tidak membeli kartu provider yang bisa digunakan disana. Jadi semua komunikasi menggunakan internet, yaitu Wifi. Karena aku tidak memesan apapun, aku langsung ingat sesuatu. Aku buka wasapp dan mengetik sebuah nama, lalu menekan tombol call.

“Assalamualaikum, gimana jadinya? Kalau bisa pagian aja biar lebih enak”, obrolanku dengan sambungan di luar sana.

Setelah selesai, kami bergegas untuk mengeksplor kembali wilayah Amsterdam. Ke Dam Square lalu melihat berbagai pertunjukan yang ada disana. Karena kami takut salah arah, kami mengikuti jalur tram nomor 5. Disitu kami sering berdebat.

Di depan DAM Square

“You are in a wrong way man!”, ucapku.

“No, no! By this way”, jelasnya.

“Don’t you remember this building? We were crossing close to this building!”, jelasku sambil menunjuk sebuah gedung tua yang bagian atapnya sedang di perbaiki.

“Ha! I remember. Yes, by this way!”, serunya sambil mengikuti langkahku.


Salah satu sudut kota Amsterdam
Beberapa kali memang kami berdebat dengan jalan, karena kami tidak hafal dan memang banyak gedung yang mirip sehingga sulit bagi kami menghafal jalan yang kita lalui pada pertama kalinya berkunjung kesana. Tapi tetap, obrolan kami tak pernah habis. Sepanjang jalan kami menikmati suasana kota metropolitan yang tidak berpolusi serta sangat humanis.


Dipinggir kanal depan Amsterdam Central Station

“Everyone’s biking here!”, ucapku.

“Yes, next Monday we need to get our bike!”, ucapnya sambil memandangi lalu lalang pesepeda di pinggir kanal. Lampu-lampu kuning pun menghiasi kota dengan apiknya.

Sebenarnya, sejak hari sabtu kami sangat berharap bisa menggunakan sepeda. Program Amsterdam Summer School memberikan fasilitas sepeda dengan Deposit 50 euro untuk 2 minggu sepeda. Namun karena waktu itu sudah malam, jadi bike rental campus sudah ditutup. Akhirnya mau tidak mau kami menggunakan tram. Padahal kami sudah membayangkan betapa indahnya apabila kami bisa jalan-jalan menggunakan sepeda ke kota, dan kalau dihitung-hitung itu akan sangat hemat!

Amsterdam adalah kota yang nyaman bagi pelancong. Banyak sekali wajah-wajah asia maupun aksen-aksen amerika atau masakan-masakan berbagai negara disana. Multikultural city, pikirku. Kota sebesar Amsterdam pastinya sangat menarik bagi warga pendatang, terlebih dari perputaran ekonominya pun sudah terlihat bahwa kota ini memiliki perputaran ekonomi yang menjanjikan. Keterbukaan warga Amsterdam pastilah menjadi kunci keramah tamahan Amsterdam. Bagaimana tidak, disini semua sangat bebas.
Setelah kami lelah berjalan kaki akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke Apartemen. Apartemen kami letaknya memang di pinggir kota Amsterdam, namun sangat dekat dan mudah aksesnya ke kota. Inilah kelebihan-kelebihan negara maju, sangat humanis. Mereka mengedepankan esensi daripada gengsi, seperti sepeda. Hampir semua orang bersepeda, persentase yang menggunakan mobil tidak banyak, apalagi sepeda motor yang sangat minoritas disini.

Sesampainya di Apartemen, dia bilang “May I go to your flat first?, I don’t know what should I do in my flat”, ujarnya. Sebenarnya kami bingung. Disini kami di University Housing untuk mahasiswa Amsterdam Summer School penginapannya terpisah. Ada yang di apartemen gedung A, B, C, atau bahkan Z. Sehingga kami sangat kesusahan untuk bisa lebih dekat satu sama lain. Tapi bagaimanapun masih ada cara untuk berkumpul dengan teman.

Di pojok koridor apartemenku ada sebuah bola. Dia langsung mengajakku bermain bola. Pukul 00:00 waktu Amsterdam atau GMT+1 terdapat dua orang mahasiswa yang sangat berisik di dalam koridor lantai 10 apartemen. Ya itu kami. Sambil teriak-teriak karena kami menendang-nendang bola yang berakhir dengan “Goooooooaaaaaallll!!!!!”, itu suara kami.


Lorong apartemen dan bola

Aku sebenarnya tidak enak sama kamar-kamar sebelah, karena takut mengganggu privacy mereka. Namun Majid bilang, “This is Saturday night, man! You don’t be afraid of all. Everyone’s partying!”. Akhirnya kami lanjutkan lagi permainan kami serta suara-suara kami. Memang tidak ada yang komplain mengenai hal tersebut, karena terlihat beberapa kamar pun mereka sangat gaduh dengan pesta musik yang mereka lantunkan. Mungkin suara kami masih kalah dibandingkan suara mereka yang sedang party. Dan party itu berlangsung di banyak tempat, seperti balcony maupun dapur.

Satu jam bermain bola dan 3 jam berjalan kaki membuat kami lelah. Akhirnya aku membuka pintu ujung Apartemen untuk mendapatkan angin segar, disitu terdapat tangga yang dapat digunakan untuk nongkrong.

“Ting tung!”, HP Majid berbunyi lagi.

“Wifiiiiiii!”, kita berdua serempak berteriak. Ya, sebegitu senangnya kami mendapatkan wifi. Akhirnya bisa browsing-browsing.

Pukul 01:30 Majid sudah terlihat mengantuk, jadi ia ingin pulang ke apartemennya. Setelah saya mengantarkannya sampai depan lift lalu kami memencet tombol lift.

“Why this button is not working?”, tanyanya.

“I don’t know. May be there is a limitation time for this lift working.”, ucapku.

“Aaa, Okaay. I will go down by this stair”, dan akhirnya Majid berjalan menuruni tangga dari lantai 10 untuk pulang ke apartemennya.

Amsterdam, 21 July 2015
23:04

You Might Also Like

0 komentar