Di suatu tempat disaat sang Matahari belum mulai menyingsingkan cahayanya, suara ayam berkokok sayu-sayu terdengar di kejauhan dengan desir suara ranting serta daun yang diterpa angin lembut, terdengar juga lelaki setengah baya yang sedang memukul pohon yang berdiameter sekitar 1 meter tersebut dengan kapak usangnya. Ditemani dengan sebuah perapian yang terbuat dari ujung bambu yang dipotong sedikit diatas ruas bambu yang diselipkannya kain usang sebagai sumbu perapiannya. Dan itu ia kerjakan pada waktu yang sama setiap harinya selama belasan tahun.
Di iringi lembutnya angin yang menyambar perapiannya, terpantullah cahaya api ke wajah sang penebang pohon. Sudah satu setengah jam dia mengayunkan kapaknya. Tak ayal keringat sang penebang pohon tersebut tercucur bak embun yang sedang menguap pada waktu yang tepat pada waktu tersebut.
"Ayah...", teriakan anak kecil sambil mengelap-elap matanya yang belum terbuka sempurna yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya, keluar dari sebuah tempat yang berukuran lima kali tujuh meter beratapkan jerami dan berdindingkan kayu yang sudah cukup lapuk.
"Hey anakku..", tangan yang terlihat kasar, berurat dilambaikannya.
Dengan langkah kecil anak tersebut melewati dingin nya udara pagi itu sambil menempatkan kedua tangannya di depan dada nya. Dengan hati-hati langkah tersebut mendekat kepada sang Ayah.
"Hendak kau lakukan apa anakku, di dingin nya pagi seperti ini", ujar lelaki setengah baya tersebut. "Aku hanya ingin melihat, ayah. Tak ada keinginanku untuk mengganggumu.", ujar anak berumur satu windu tersebut.
"Masuklah nak, ke tempat kau bisa mendapatkan kehangatan yang biasa kau lakukan", ucap Ayah sambil menundukan badan agar wajah Ayah tersebut bertatapan wajah anak itu dengan tangan kanan mengelus rambut.
"Tapi aku ingin sekali membantumu melakukan hal itu", pinta anak kecil itu. Sang ayah mendekat sambil memegang kedua lengan anak kecil itu sambil berkata "Buka lah buku pemberian edi anak pak lurah itu, agar kelak kau tak sepertiku, karena kau lah satu-satu nya sang mahkota keluarga yang dapat membawa Ayah dan Ibumu pergi ke suatu tempat yang beratapkan genting dan beralaskan karpet sutra".
Namun anak kecil itu masih belum beranjak dari tempatnya sambil berujar "Apakah aku bisa memberikan mu selembar kain sutra sebagai penutup badanmu saat kau tidur, ayah?".
"Bisa anakku", sambil menuntun anak tersebut pergi ke pojok luar dari gubuk yang mereka huni. "Buka lah bukumu, lihatlah dunia dengan caramu, bahkan kelak kau pun bisa menjadi seorang yang memiliki tanda garis emas di lengan seragam yang kau kenakan. Anggaplah setiap kau buka satu lembar kertasmu, sama halnya Ayah mengayun satu kali diarahkan ke pohon itu", ujar sang Ayah.
"Ayah, Budi, masuklah. Sudah Ibu siapkan nasi hangat berlaukkan daun singkong rebus dengan sedikit rempah pedas yang dimasak setengah matang", Ujar wanita yang rambutnya sedang digulung diatas sambil melambaikan tangan dari dalam sebuah rumah kecil yang sudah terlihat renta dengan lap yang berada pundak kiri nya.
"Ayo ayah kita lanjutkan", ujar Budi sambil menarik tangan sang Ayah dengan semangatnya.
- 01.33
- 0 Comments