“After class, that’s your turn to do your exam. Are you
ready, taufik?”, ungkapan sekaligus pernyataan Chris yang mengagetkanku siang
itu. Selesai kelas pertama yang ia ajarkan pun dia menginformasikan kepadaku
hal itu.
“Satu jam!”, pikirku dalam hati. Persiapan satu jam untuk exam Dutch language membuatku ekstra keras belajar di kala break makan siang. Kelas Professor Wim pun juga jadwalnya exam pada hari itu.
Lagu perpisahan "a thousand years old"
“Satu jam!”, pikirku dalam hati. Persiapan satu jam untuk exam Dutch language membuatku ekstra keras belajar di kala break makan siang. Kelas Professor Wim pun juga jadwalnya exam pada hari itu.
Tanpa membuang waktu, disaat bersamaan dengan makan siang
aku belajar sendiri. Keith, Jessica dan Agnes pun memberikan
pertanyaan-pertanyaan kepadaku. Supportive sekali mereka!
Exam ini aku lakukan sendiri karena hari terakhir Summer
School aku tidak bisa hadir, jadwal pesawat di siang hari memaksaku untuk melakukan
exam pada hari sebelumnya. Chris yang sudah aku kasih tahu jauh-jauh hari pun
ia sangat mengerti kondisi ini, hingga akhirnya ia mengadakan private exam
untukku.
Kelas Prof Wim pun selesai, ditambah dengan exam mengenai
Dutch Culture. Chris yang berjanji memberikan kelas tambahan kepada mahasiswa
kelas kami pun harus meninggalkannya sebentar untuk mengurusku.
“Give me 15 minutes for finishing my study, Chris”, ujarku
sambil belajar didalam kelas.
“Just tell me if you were ready!”, ucap Chris sambil menunggu
mahasiswa lain yang datang untuk kelas tambahan.
“We have to find a private room for your examination”, ujar
Chris sambil berjalan mengelilingi bilik-bilik ruangan ujian yang kosong.
View dari kampus
View dari kampus
Aku yang semakin nervous karena kurangnya persiapan pun
lebih banyak diam saat itu.
“This is a list of an exam regulation that should obey. Read
it 5 minutes, and the exam will begin!”, ucap Chris.
Membaca peraturan serta soal exam dalam waktu singkat
akhirnya aku bisa memahami. Sebenarnya kalau examnya berupa soal writing bisa
lebih mudah kali ya, namun apa daya examnya adalah Speaking. Seperti
conversation gitu. Pronunciation yang aku pelajari selama ini cukup baik kata
Chris. Exam yang berupa percakapan mengenai letak lokasi dari sebuah jalan, dan
aku harus memberikan arahan yang tepat menggunakan bahasa dan pronunciation
bahasa Belanda.
“Congratulation! You passed it! Almost perfect. You only
skip a little thing, and you straight with your correct answer”, ucap Chris
sambil menyalamiku.
“I am sorry about my pronunciation, I didn’t prepare it well”,
ujarku.
Selesainya exam, Chris pun langsung menguruskan certificate
ku karena paginya aku tidak punya waktu untuk mengambil serfitikat.
Satu jam berlalu.
Sertifikatku pun ternyata belum bisa diambil saat itu juga, aku
dan Chris langsung balik ke kelas dan semua orang sudah pulang. Chris
menjanjikanku sertifikatnya akan dikirim ke Indonesia olehnya. Baik sekali
professor satu ini!
“Chris, I am sorry everyone’s left. This was because of me!”,
ujarku dengan muka bersalah. Kelas yang seharusnya menjadi kelas tambahan
sebagai persiapan exam bagi teman-temanku ternyata sudah bubar mungkin karena
menunggu Chris yang kelamaan mengurus private exam untukku. Chris pun tidak
mengapa.
“I think, it is the last time we meet, Chris. For me, it is
a very sad moment to say goodbye to you, to another professor, to people and to
Amsterdam”, ujarku sangat bersedih karena harus berpisah dengan mereka.
“Life must go on taufik. People come and go. You are a nice
student, I hope we can meet again someday”, ucapnya yang juga terlihat sedih
karena berpisah dengan mahasiswa-mahasiswanya.
Banyak sekali percakapan kami sebelum aku pamit untuk
pulang. Perpisahan dengan pelukan serta jabat tangan. Semoga, kita bisa bertemu
lagi suatu saat nanti, Chris!
17.00
Karena tidak mau menyia-nyiakan waktu di Apartemen sendiri,
aku langsung mencari Majid, Ceu pon and Prashant yang biasanya masih menyelesaikan
projectnya di tempat membaca, sebelah kantin utama kampus.
Tempat membaca
Gedung utama kampus
“Haiiiiiiiiiiiii”, ucapku pada mereka. Sudah kuduga bahwa
mereka masih menyelesaikan tugas mereka, keesokan harinya mereka harus
mempresentasikannya.
Majid-Prashant-Ceu pon mengerjakan project
Karena tugasnya project kelompok, maka mereka bergantian. Yang
sedang giliran tidak mengerjakan pun bercerita dan bergurau disana. Tak pernah
habis ya cerita dengan mereka, padahal tiap hari ketemu!
Majid mengerjakan tugas bergantian
Kami merencanakan untuk pergi ke kota malam ini, karena
merupakan malam terakhir kami di Amsterdam. Ternyata, banyak dari Amsterdam
Buds yang tidak bisa karena mempersiapkan exam di esok harinya. Prashant dan
Ceu pon pun malam ini harus packing serta belajar untuk presentasi hari terakhir
nanti.
Gedung utama kampus
Aku dan Majid akhirnya pergi berdua. Tujuan utama kami
adalah mencari oleh-oleh, namun waktu sudah beranjak malam yaitu jam 9.
Pergi ke kota
21.00
“Majiiddddd, why are the souvenir shops already closed?”,
tanyaku panik. Itu kesempatan terakhirku untuk membeli oleh-oleh untuk
keluargaku dan teman-temanku. Ternyata sudah banyak yang tutup. Pastinya aku
sengaja membeli oleh-oleh pada saat-saat terakhir, agar aku bisa jalan-jalan
dulu tanpa kehabisan uang. Gak lucu kalau beli oleh-oleh di awal, tiba-tiba
kehabisan uang di negeri orang.
Akhirnya aku lari mencari souvenir shop yang masih buka, itupun
sudah ada pemberitahuan bahwa kita sudah mau di usir.
“Ohh God!!!!”, aku langsung mengambil apa saja yang
kira-kira bagus langsung aku lari ke kasir.
“How lucky you are, you are the last one here!”, ucap
mbak-mbak penjaga kasir.
Seperti biasa bahwa di Amsterdam ketepatan waktu memanglah
salah satu faktor penting atas buka atau tutupnya sebuah toko. Buka ya buka,
tutup ya tutup!
Majid
“Haii Majid”, tepuk pundak dari seseorang yang tinggi besar berwajah
amerika latin ini.
Dia adalah Clifford teman sekelas Majid yang sudah membuat
appointment untuk jalan-jalan malam hari itu.
“I don’t remember your name, but I know you!”, ucap Clifford
kepadaku.
Kami sudah pernah berkenalan dan ngobrol di Amsterdam Museum
saat acara dinner Amsterdam Summer School. Dan kami berkenalan lagi.
Sambil mencari tempat makan yang enak, maka kami berjalan
mengitari sekitar. Restaurant Turki merupakan pilihan kami, aku dan Majid yang
tadinya sudah makan malam maka kami hanya minum saja sambil ngobrol-ngobrol. Clifford
sangat tertarik dengan Gadget dan dunia IT. Kami pun mengobrol tentang gadget-gadget
terbaru hingga perkembangan perusahaan IT yang sedang melaju pesat sekarang
ini. Persepsi Clifford pun bahwa Computer Science akan merajai dunia, bahkan
perusahaan yang bergerak di bidang IT.
23.00
Suasana malam terakhir
Kami mencari subway terdekat untuk menunggu tram. Majid dan
aku bercerita akan kesedihan kami, bahwa kami semua akan berpisah pada esok
harinya.
Malam terakhir
“Tomorrow, will be a scary days ahead. I will be back to the
old boring Sheffield. No longer in Amsterdam. Ahhhh I don’t want to leave this
city!”, ucap Majid sambil kami duduk bersebelahan didalam tram. Ditemani oleh
pancaran sinar lampu indahnya kota Amsterdam. Raut kesedihan memang terpancar
jelas di wajahnya. Akupun begitu.
Malam terakhir
2015, 31st July. 08.00
“Ting tung!”, akupun memencet tombol bel pada nomor kamar 290 pada lantai 6 apartemen berwarna merah itu.
“Let’s come bro!”, Majid mempersilahkanku masuk, seperti
biasa.
“Oh God! This will be our last meeting, fik! I don’t want to
leave, I don’t!”, ucap Majid berkali-kali.
“So sad!”
“So sad!”
“So sad!”, ucap kami berdua.
Aku pun tadi pagi berkali-kali memutari kamar apartemenku, merenungkan
kesedihan dibalkon kamarku. Bolak-balik mengecek dapur apartemen, padahal
selalu sepi tetapi akan selalu kurindukan.
“Ini saat-saat terakhirku tinggal disini!”, ucapku dalam
hati sambil memandangi panorama pagi hari.
Pagi itu matahari bersinar terang, sangat terang.
Tetapi bagiku, pagi itu sangat gelap. Sangat menyeramkan,
sangat menyedihkan. Seolah mendung menggelayut diatas apartemen kami. Beberapa
kali aku berucap pada kamar apartemenku, “See you! I will be back here someday!
Or this will be my last time to meet you!”.
Sebelum pergi, aku sekalian berpamitan kepada Rahmi yang
kamarnya 3 kamar sebelahku, karena Rosa masih tidur. Semoga nanti di Indonesia,
atau mungkin di belahan bumi lainnya, kita bertemu lagi guys! Seneng banget pernah
menghabiskan waktu seharian dengan kalian di Den Haag. Keep contact yoy!
Taufik-Rahmi-Rosa
Majid yang sedari tadi aku tunggu ternyata masih sama
melakukan hal yang aku lakukan tadi pagi, di kamarku. Dia mengecek lemari
kosong itu berkali-kali, ia mengecek dapur yang tidak ada orang itu dan itu ia
lakukan berkali kali. Dia seperti tak rela meninggalkannya, meninggalkan ini
semua.
“This is for you bro! Just have some, you get 2 pieces. This
is originally from Indonesia”, sambil duduk di kasur aku memberikan gantungan
kunci berbentuk wayang kepada nya. Aku beri 2 untuk dia. Karena dia teman
terbaikku disana, dari hari pertama hingga hari terakhir kami selalu bersama. Dari
hari pertama aku mengenalnya, ia sangat suka dengan gantungan kunci. Saat kami
jalan bersama, ia selalu mencari gantungan kunci yang unik. Katanya dia
mengoleksinya. Beruntung sekali aku membawakan oleh-oleh dari Indonesia berupa
gantungan kunci, sesuatu yang sangat ia sukai. Keep safe ya bro!
“I hope, you’ll remember me if you see this!”, ucapku
menambahkan.
“This will be our last meeting Taufik. I hope we can meet
again someday. I do really hope!”, ucap Majid.
Kami berdua sangat sedih meninggalkan semua ini, meninggalkan
Amsterdam, meninggalkan Amsterdam Buds, meninggalkan apartemen kami dan
meninggalkan persahabatan singkat kami. Sudah biasa aku berpisah dengan
teman-temanku lainnya, tetapi tidak dengan Amsterdam Buds apalagi Majid. Kami
semua berasal dari berbeda negara yang cukup menyulitkan kami untuk bertemu
kembali, semoga suatu hari nanti kami bisa berkumpul lagi dengan lengkap.
Setengah jam Majid selesai berputar-putar di kamarnya,
kamipun berangkat. Meskipun terlihat sekali dengan berat hati ia meninggalkan
ini semua. Ia masih ingin berlama-lama disini, di tempat ini, di Amsterdam.
Kami tak ingin, tak ingin meninggalkan semua ini.
“Bye trees…….…”
“Bye lamps………”
“Bye bins…………”
“Bye buildings….”
“Bye sport centrum……”
“Bye everything that makes me feel so comfy living here!”,
ucap kami berdua di depan Apartemen Majid sambil melambaikan tangan kepada
benda-benda mati di depan kami.
“I wanna cry, bro!”, ucap Majid.
Depan apartemen
Cuaca yang biasanya kami inginkan itupun tidak berpengaruh
atas kesedihan kami. Air mata kami sudah berada di ujung pangkal mata kami. Namun
tak tertetes.
08.40
Sampai di kampus ternyata sudah ada Ceu pon dan Sara. Dia
menunggu tepat di depan International Office, mereka menungguku.
“It was a really sad moment for me”, ucapku kepada mereka
semua.
Air mata yang tak tertumpahkan dari mereka pun sangat
terlihat jelas. Biasanya kami mengobrol panjang lebar, namun pagi itu tidak.
“Hug me!”, ucap mereka semua. Akupun memeluk Sara dan Ceu
pon sambil mengutarakan kesedihan atas perpisahan kami. Akhir pertemuan kita,
mungkin. Tidak lupa aku memberikan gantungan kunci kepada mereka.
Karena aku harus berangkat ke Bandara lebih awal, maka aku bergegas
mengembalikan kunci.
“Haiii Taufiiiiiiikk”, sambut Eva Jansen dengan ramah.
Dia bertanya bagaimana Summer Schoolnya, apakah enjoy atau
tidak. Akupun mengutarakan bahwa aku sangat senang bisa disini menjadi bagian
dari program ini. Bertemu dengannya dan bertemu dengan semua sahabatku disini. Eva
pun terlihat sedih saat aku akan berpisah dengannya. Lalu aku bersalaman
dengannya sambil memeluknya.
“Ya Tuhan, kenapa secepat ini aku harus berpisah dengan
orang-orang baik dan kusayang”, ucapku dalam hati.
Prashant dan Mathias pun sudah datang. Satu per satu aku
peluk mereka. Mereka merasakan hal yang sama, tersirat dari air mata yang
berlinang.
“You are a really really nice person, fik. I really nice to
meet you”, ucap Mathias saat kami berpelukan.
Dan yang terakhir, Majid. Dia setelah mengembalikan kunci
langsung kepadaku.
“So sad, fik! I will be missing you!”, ucapnya sambil
berpelukan.
Selfie dengan Majid
Seketika aku terbayang akan persahabatan kami dari awal kami
bertemu. Tentang memori kekonyolan kami, ketidakmampuan kami dalam memasak, bermain
sepak bola malam-malam di Apartemen, bermain tenis meja tengah malam, menyusuri
setiap sudut kota Amsterdam bersama-sama hingga mencari makanan halal di kota. Seolah
tubuhku menolak untuk pergi dari sini, dari Amsterdam. Tidak satu haripun kami
tidak bertemu, kami selalu menyempatkan. Tentang semua kebaikan-kebaikannya.
“Let’s hug each other!”, ucap salah satu dari kami. Kami
berenam pun berpelukan cukup lama, terlihat raut kesedihan kami semua. Kehangatan
persahabatan kami tak hanya sekedar persahabatan ketika dikala senang, tetapi
juga dikala susah. Ini waktu kami untuk berpisah. Amsterdam Buds waktunya
berpisah.
Aku tak pernah tahu kenapa bisa sesedih itu berpisah dengan
Amsterdam Buds, kami hanya bertemu 2 minggu namun kami seperti mengenal satu
sama lain bertahun-tahun. Ditambah lagi kami semua berasal dari berbeda negara
yang hanyalah keajaiban yang dapat mempertemukan kami kembali, suatu saat
nanti.
Air mataku berlinang. Tapi tak tumpah.
“I have to go guys!”, ucapku sambil melepaskan pelukan kami
semua.
“Take care fik, I will be missing you all guys”, ucap mereka
sambil melambaikan tangan.
Di belakang sana ternyata Eva Jansen melihat keharuan kami, dia
terharu. Air matanya yang berlinang itu. Dia melihat perpisahan kami, dia
melihat kesedihan kami, dan dia melihat pelukan terakhir kami.
“Taufik………….”, teriakkannya sambil melambaikan tangan.
Aku hanya melambaikan tangan sambil berucap “I hope I can
meet you again someday guys!”.
Salah satu mimpi terburuk dalam hidupku, harus berpisah
dengan mereka. Ada awal, ada akhir. Namun aku belum bisa menerima akhir. Terbayang
semua nya begitu mendung, begitu menyedihkan.
Koper serta barang bawaanku pun aku tarik untuk meninggalkan
kampus ini.
Stasiun Amsterdam Zuid
Perjalanan sampai di Schiphol Airport pun masih dengan air
mata yang masih tergenang. Rasanya ingin teriak. Ingin kutumpahkan, tetapi
tidak mungkin. Tak ingin meninggalkan kota ini dengan segala isinya. Aku ingin
Amsterdam Buds tetap bersama, tetap tinggal di kota ini.
Salah satu perpisahan tersedih dalam hidupku. Ibaratnya
seperti aku datang-mencintai-pergi-mati. Mungkin hanya seumur hidup sekali bisa
bertemu mereka. Itulah yang selalu berputar-putar di anganku.
Di depan Amsterdam Central Station
Sudah tercatat rapi goresan kenangan mereka di dalam hati. Amsterdam
menjadi kota paling aku cintai. Tak hanya jatuh cinta dengan kotanya, namun juga
jatuh cinta dengan orang-orangnya.
Bahkan aku berfikir bahwa ini merupakan aku sedang berada di
right place, bertemu dengan right people, dan berada di right time. Sempurna!
Sungguh, pengalaman 2 mingu terbaik dalam hidupku.
Amsterdam Buds!
Semoga kami di pertemukan kembali, suatu saat nanti.
Ya Tuhan, Ijinkanlah persahabatan kami tetap kami pegang.
Ijinkanlah pertemuan-pertemuan kami selanjutnya.
Ijinkanlah untuk tetap bisa berkumpul bersama suatu hari nanti.
Hanya keajaiban-Mu lah yang mampu mempertemukan kami kembali.
Kami sangat berharap semua akan tetap terkenang.
Di hati kami masing-masing.
I Amsterdam
Boyolali, 5 Agustus 2015
22:32
- 22.32
- 0 Comments