See you, Amsterdam! -My 2 best weeks ever-

22.32

“After class, that’s your turn to do your exam. Are you ready, taufik?”, ungkapan sekaligus pernyataan Chris yang mengagetkanku siang itu. Selesai kelas pertama yang ia ajarkan pun dia menginformasikan kepadaku hal itu.

 
Lagu perpisahan "a thousand years old"

“Satu jam!”, pikirku dalam hati. Persiapan satu jam untuk exam Dutch language membuatku ekstra keras belajar di kala break makan siang. Kelas Professor Wim pun juga jadwalnya exam pada hari itu.
Tanpa membuang waktu, disaat bersamaan dengan makan siang aku belajar sendiri. Keith, Jessica dan Agnes pun memberikan pertanyaan-pertanyaan kepadaku. Supportive sekali mereka!

Exam ini aku lakukan sendiri karena hari terakhir Summer School aku tidak bisa hadir, jadwal pesawat di siang hari memaksaku untuk melakukan exam pada hari sebelumnya. Chris yang sudah aku kasih tahu jauh-jauh hari pun ia sangat mengerti kondisi ini, hingga akhirnya ia mengadakan private exam untukku. 

Kelas Prof Wim pun selesai, ditambah dengan exam mengenai Dutch Culture. Chris yang berjanji memberikan kelas tambahan kepada mahasiswa kelas kami pun harus meninggalkannya sebentar untuk mengurusku.

“Give me 15 minutes for finishing my study, Chris”, ujarku sambil belajar didalam kelas.

“Just tell me if you were ready!”, ucap Chris sambil menunggu mahasiswa lain yang datang untuk kelas tambahan.

“We have to find a private room for your examination”, ujar Chris sambil berjalan mengelilingi bilik-bilik ruangan ujian yang kosong.

 
 View dari kampus

 
View dari kampus 

Aku yang semakin nervous karena kurangnya persiapan pun lebih banyak diam saat itu. 

“This is a list of an exam regulation that should obey. Read it 5 minutes, and the exam will begin!”, ucap Chris.

Membaca peraturan serta soal exam dalam waktu singkat akhirnya aku bisa memahami. Sebenarnya kalau examnya berupa soal writing bisa lebih mudah kali ya, namun apa daya examnya adalah Speaking. Seperti conversation gitu. Pronunciation yang aku pelajari selama ini cukup baik kata Chris. Exam yang berupa percakapan mengenai letak lokasi dari sebuah jalan, dan aku harus memberikan arahan yang tepat menggunakan bahasa dan pronunciation bahasa Belanda.

“Congratulation! You passed it! Almost perfect. You only skip a little thing, and you straight with your correct answer”, ucap Chris sambil menyalamiku.

“I am sorry about my pronunciation, I didn’t prepare it well”, ujarku.

Selesainya exam, Chris pun langsung menguruskan certificate ku karena paginya aku tidak punya waktu untuk mengambil serfitikat. 

Satu jam berlalu.

Sertifikatku pun ternyata belum bisa diambil saat itu juga, aku dan Chris langsung balik ke kelas dan semua orang sudah pulang. Chris menjanjikanku sertifikatnya akan dikirim ke Indonesia olehnya. Baik sekali professor satu ini!

“Chris, I am sorry everyone’s left. This was because of me!”, ujarku dengan muka bersalah. Kelas yang seharusnya menjadi kelas tambahan sebagai persiapan exam bagi teman-temanku ternyata sudah bubar mungkin karena menunggu Chris yang kelamaan mengurus private exam untukku. Chris pun tidak mengapa.

“I think, it is the last time we meet, Chris. For me, it is a very sad moment to say goodbye to you, to another professor, to people and to Amsterdam”, ujarku sangat bersedih karena harus berpisah dengan mereka. 

“Life must go on taufik. People come and go. You are a nice student, I hope we can meet again someday”, ucapnya yang juga terlihat sedih karena berpisah dengan mahasiswa-mahasiswanya.
Banyak sekali percakapan kami sebelum aku pamit untuk pulang. Perpisahan dengan pelukan serta jabat tangan. Semoga, kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti, Chris!

17.00

Karena tidak mau menyia-nyiakan waktu di Apartemen sendiri, aku langsung mencari Majid, Ceu pon and Prashant yang biasanya masih menyelesaikan projectnya di tempat membaca, sebelah kantin utama kampus.


Tempat membaca

 Gedung utama kampus
“Haiiiiiiiiiiiii”, ucapku pada mereka. Sudah kuduga bahwa mereka masih menyelesaikan tugas mereka, keesokan harinya mereka harus mempresentasikannya.

Majid-Prashant-Ceu pon mengerjakan project
Karena tugasnya project kelompok, maka mereka bergantian. Yang sedang giliran tidak mengerjakan pun bercerita dan bergurau disana. Tak pernah habis ya cerita dengan mereka, padahal tiap hari ketemu!

Majid mengerjakan tugas bergantian
Kami merencanakan untuk pergi ke kota malam ini, karena merupakan malam terakhir kami di Amsterdam. Ternyata, banyak dari Amsterdam Buds yang tidak bisa karena mempersiapkan exam di esok harinya. Prashant dan Ceu pon pun malam ini harus packing serta belajar untuk presentasi hari terakhir nanti.

Gedung utama kampus
Aku dan Majid akhirnya pergi berdua. Tujuan utama kami adalah mencari oleh-oleh, namun waktu sudah beranjak malam yaitu jam 9.

Pergi ke kota

21.00

“Majiiddddd, why are the souvenir shops already closed?”, tanyaku panik. Itu kesempatan terakhirku untuk membeli oleh-oleh untuk keluargaku dan teman-temanku. Ternyata sudah banyak yang tutup. Pastinya aku sengaja membeli oleh-oleh pada saat-saat terakhir, agar aku bisa jalan-jalan dulu tanpa kehabisan uang. Gak lucu kalau beli oleh-oleh di awal, tiba-tiba kehabisan uang di negeri orang.

Akhirnya aku lari mencari souvenir shop yang masih buka, itupun sudah ada pemberitahuan bahwa kita sudah mau di usir.

“Ohh God!!!!”, aku langsung mengambil apa saja yang kira-kira bagus langsung aku lari ke kasir. 

“How lucky you are, you are the last one here!”, ucap mbak-mbak penjaga kasir. 

Seperti biasa bahwa di Amsterdam ketepatan waktu memanglah salah satu faktor penting atas buka atau tutupnya sebuah toko. Buka ya buka, tutup ya tutup!

Majid

“Haii Majid”, tepuk pundak dari seseorang yang tinggi besar berwajah amerika latin ini.

Dia adalah Clifford teman sekelas Majid yang sudah membuat appointment untuk jalan-jalan malam hari itu. 

“I don’t remember your name, but I know you!”, ucap Clifford kepadaku. 

Kami sudah pernah berkenalan dan ngobrol di Amsterdam Museum saat acara dinner Amsterdam Summer School. Dan kami berkenalan lagi.
Sambil mencari tempat makan yang enak, maka kami berjalan mengitari sekitar. Restaurant Turki merupakan pilihan kami, aku dan Majid yang tadinya sudah makan malam maka kami hanya minum saja sambil ngobrol-ngobrol. Clifford sangat tertarik dengan Gadget dan dunia IT. Kami pun mengobrol tentang gadget-gadget terbaru hingga perkembangan perusahaan IT yang sedang melaju pesat sekarang ini. Persepsi Clifford pun bahwa Computer Science akan merajai dunia, bahkan perusahaan yang bergerak di bidang IT.

23.00

Suasana malam terakhir

Kami mencari subway terdekat untuk menunggu tram. Majid dan aku bercerita akan kesedihan kami, bahwa kami semua akan berpisah pada esok harinya.

 
Malam terakhir

“Tomorrow, will be a scary days ahead. I will be back to the old boring Sheffield. No longer in Amsterdam. Ahhhh I don’t want to leave this city!”, ucap Majid sambil kami duduk bersebelahan didalam tram. Ditemani oleh pancaran sinar lampu indahnya kota Amsterdam. Raut kesedihan memang terpancar jelas di wajahnya. Akupun begitu.

Malam terakhir 
2015, 31st July. 08.00


“Ting tung!”, akupun memencet tombol bel pada nomor kamar 290 pada lantai 6 apartemen berwarna merah itu. 

“Let’s come bro!”, Majid mempersilahkanku masuk, seperti biasa.

“Oh God! This will be our last meeting, fik! I don’t want to leave, I don’t!”, ucap Majid berkali-kali.

“So sad!”

“So sad!”

“So sad!”, ucap kami berdua.

Aku pun tadi pagi berkali-kali memutari kamar apartemenku, merenungkan kesedihan dibalkon kamarku. Bolak-balik mengecek dapur apartemen, padahal selalu sepi tetapi akan selalu kurindukan.
“Ini saat-saat terakhirku tinggal disini!”, ucapku dalam hati sambil memandangi panorama pagi hari. 

Pagi itu matahari bersinar terang, sangat terang. 

Tetapi bagiku, pagi itu sangat gelap. Sangat menyeramkan, sangat menyedihkan. Seolah mendung menggelayut diatas apartemen kami. Beberapa kali aku berucap pada kamar apartemenku, “See you! I will be back here someday! Or this will be my last time to meet you!”. 

Sebelum pergi, aku sekalian berpamitan kepada Rahmi yang kamarnya 3 kamar sebelahku, karena Rosa masih tidur. Semoga nanti di Indonesia, atau mungkin di belahan bumi lainnya, kita bertemu lagi guys! Seneng banget pernah menghabiskan waktu seharian dengan kalian di Den Haag. Keep contact yoy!

Taufik-Rahmi-Rosa

Majid yang sedari tadi aku tunggu ternyata masih sama melakukan hal yang aku lakukan tadi pagi, di kamarku. Dia mengecek lemari kosong itu berkali-kali, ia mengecek dapur yang tidak ada orang itu dan itu ia lakukan berkali kali. Dia seperti tak rela meninggalkannya, meninggalkan ini semua.

“This is for you bro! Just have some, you get 2 pieces. This is originally from Indonesia”, sambil duduk di kasur aku memberikan gantungan kunci berbentuk wayang kepada nya. Aku beri 2 untuk dia. Karena dia teman terbaikku disana, dari hari pertama hingga hari terakhir kami selalu bersama. Dari hari pertama aku mengenalnya, ia sangat suka dengan gantungan kunci. Saat kami jalan bersama, ia selalu mencari gantungan kunci yang unik. Katanya dia mengoleksinya. Beruntung sekali aku membawakan oleh-oleh dari Indonesia berupa gantungan kunci, sesuatu yang sangat ia sukai. Keep safe ya bro!

“I hope, you’ll remember me if you see this!”, ucapku menambahkan.

“This will be our last meeting Taufik. I hope we can meet again someday. I do really hope!”, ucap Majid.

Kami berdua sangat sedih meninggalkan semua ini, meninggalkan Amsterdam, meninggalkan Amsterdam Buds, meninggalkan apartemen kami dan meninggalkan persahabatan singkat kami. Sudah biasa aku berpisah dengan teman-temanku lainnya, tetapi tidak dengan Amsterdam Buds apalagi Majid. Kami semua berasal dari berbeda negara yang cukup menyulitkan kami untuk bertemu kembali, semoga suatu hari nanti kami bisa berkumpul lagi dengan lengkap. 

Setengah jam Majid selesai berputar-putar di kamarnya, kamipun berangkat. Meskipun terlihat sekali dengan berat hati ia meninggalkan ini semua. Ia masih ingin berlama-lama disini, di tempat ini, di Amsterdam. Kami tak ingin, tak ingin meninggalkan semua ini.

“Bye trees…….…”

“Bye lamps………”

“Bye bins…………”

“Bye buildings….”

“Bye sport centrum……”

“Bye everything that makes me feel so comfy living here!”, ucap kami berdua di depan Apartemen Majid sambil melambaikan tangan kepada benda-benda mati di depan kami. 

“I wanna cry, bro!”, ucap Majid.


Depan apartemen
Cuaca yang biasanya kami inginkan itupun tidak berpengaruh atas kesedihan kami. Air mata kami sudah berada di ujung pangkal mata kami. Namun tak tertetes.

08.40

Sampai di kampus ternyata sudah ada Ceu pon dan Sara. Dia menunggu tepat di depan International Office, mereka menungguku. 

“It was a really sad moment for me”, ucapku kepada mereka semua. 

Air mata yang tak tertumpahkan dari mereka pun sangat terlihat jelas. Biasanya kami mengobrol panjang lebar, namun pagi itu tidak. 

“Hug me!”, ucap mereka semua. Akupun memeluk Sara dan Ceu pon sambil mengutarakan kesedihan atas perpisahan kami. Akhir pertemuan kita, mungkin. Tidak lupa aku memberikan gantungan kunci kepada mereka.

Karena aku harus berangkat ke Bandara lebih awal, maka aku bergegas mengembalikan kunci.

“Haiii Taufiiiiiiikk”, sambut Eva Jansen dengan ramah.

Dia bertanya bagaimana Summer Schoolnya, apakah enjoy atau tidak. Akupun mengutarakan bahwa aku sangat senang bisa disini menjadi bagian dari program ini. Bertemu dengannya dan bertemu dengan semua sahabatku disini. Eva pun terlihat sedih saat aku akan berpisah dengannya. Lalu aku bersalaman dengannya sambil memeluknya.

“Ya Tuhan, kenapa secepat ini aku harus berpisah dengan orang-orang baik dan kusayang”, ucapku dalam hati.

Prashant dan Mathias pun sudah datang. Satu per satu aku peluk mereka. Mereka merasakan hal yang sama, tersirat dari air mata yang berlinang. 

“You are a really really nice person, fik. I really nice to meet you”, ucap Mathias saat kami berpelukan. 

Dan yang terakhir, Majid. Dia setelah mengembalikan kunci langsung kepadaku.

“So sad, fik! I will be missing you!”, ucapnya sambil berpelukan.

Selfie dengan Majid
Seketika aku terbayang akan persahabatan kami dari awal kami bertemu. Tentang memori kekonyolan kami, ketidakmampuan kami dalam memasak, bermain sepak bola malam-malam di Apartemen, bermain tenis meja tengah malam, menyusuri setiap sudut kota Amsterdam bersama-sama hingga mencari makanan halal di kota. Seolah tubuhku menolak untuk pergi dari sini, dari Amsterdam. Tidak satu haripun kami tidak bertemu, kami selalu menyempatkan. Tentang semua kebaikan-kebaikannya. 

“Let’s hug each other!”, ucap salah satu dari kami. Kami berenam pun berpelukan cukup lama, terlihat raut kesedihan kami semua. Kehangatan persahabatan kami tak hanya sekedar persahabatan ketika dikala senang, tetapi juga dikala susah. Ini waktu kami untuk berpisah. Amsterdam Buds waktunya berpisah. 

Aku tak pernah tahu kenapa bisa sesedih itu berpisah dengan Amsterdam Buds, kami hanya bertemu 2 minggu namun kami seperti mengenal satu sama lain bertahun-tahun. Ditambah lagi kami semua berasal dari berbeda negara yang hanyalah keajaiban yang dapat mempertemukan kami kembali, suatu saat nanti. 

Air mataku berlinang. Tapi tak tumpah.

“I have to go guys!”, ucapku sambil melepaskan pelukan kami semua. 

“Take care fik, I will be missing you all guys”, ucap mereka sambil melambaikan tangan. 

Di belakang sana ternyata Eva Jansen melihat keharuan kami, dia terharu. Air matanya yang berlinang itu. Dia melihat perpisahan kami, dia melihat kesedihan kami, dan dia melihat pelukan terakhir kami.

“Taufik………….”, teriakkannya sambil melambaikan tangan.

Aku hanya melambaikan tangan sambil berucap “I hope I can meet you again someday guys!”.
Salah satu mimpi terburuk dalam hidupku, harus berpisah dengan mereka. Ada awal, ada akhir. Namun aku belum bisa menerima akhir. Terbayang semua nya begitu mendung, begitu menyedihkan.
Koper serta barang bawaanku pun aku tarik untuk meninggalkan kampus ini.

Stasiun Amsterdam Zuid
Perjalanan sampai di Schiphol Airport pun masih dengan air mata yang masih tergenang. Rasanya ingin teriak. Ingin kutumpahkan, tetapi tidak mungkin. Tak ingin meninggalkan kota ini dengan segala isinya. Aku ingin Amsterdam Buds tetap bersama, tetap tinggal di kota ini. 


Schiphol Airport

Rona kesedihan masih terasa di dalam pesawat
Salah satu perpisahan tersedih dalam hidupku. Ibaratnya seperti aku datang-mencintai-pergi-mati. Mungkin hanya seumur hidup sekali bisa bertemu mereka. Itulah yang selalu berputar-putar di anganku.

Di depan Amsterdam Central Station

Sudah tercatat rapi goresan kenangan mereka di dalam hati. Amsterdam menjadi kota paling aku cintai. Tak hanya jatuh cinta dengan kotanya, namun juga jatuh cinta dengan orang-orangnya.
Bahkan aku berfikir bahwa ini merupakan aku sedang berada di right place, bertemu dengan right people, dan berada di right time. Sempurna! Sungguh, pengalaman 2 mingu terbaik dalam hidupku.

 Amsterdam Buds!
Semoga kami di pertemukan kembali, suatu saat nanti.
Ya Tuhan, Ijinkanlah persahabatan kami tetap kami pegang.
Ijinkanlah pertemuan-pertemuan kami selanjutnya.
Ijinkanlah untuk tetap bisa berkumpul bersama suatu hari nanti.
Hanya keajaiban-Mu lah yang mampu mempertemukan kami kembali.
Kami sangat berharap semua akan tetap terkenang.
Di hati kami masing-masing.

 
I Amsterdam

Aku sangat merindukan kalian, merindukan Amsterdam dan Amsterdam Buds.

Amsterdam Buds!
Boyolali, 5 Agustus 2015
22:32

You Might Also Like

0 komentar