Interview di McKinsey?

20.56

Working in Consulting Firm is my dream.

Terkadang melihat orang ideal menggunakan baju kerja ala Suit and Tie, menarik perhatian dengan cara berbicara dan perangai nya. Sepertinya menjadi konsultan kelihatan “Borjuis”. Apalagi background hidupku berasal dari kota kecil, atau malah kabupaten yang banyak orang tidak pernah dengar nama itu, pasti orang-orang di kampungku lebih memandang keluarga kami ya karena menggunakan jas jauh lebih dipandang daripada pengecer daging di pasar, walaupun kadang penghasilan mereka berjumlah sama.

Pengalaman “interview”, iya hanya interview di konsultan bisnis ternama. Yang jadi pelajaran bahwa sebetulnya what our fear itu hanya di dalam otak kita saja. Ini mau cerita tentang kegagalanku saja.

Waktu itu, sekitar pukul 10 pagi dengan kondisi sedang di kantor (waktu itu sudah kerja) ada seorang wanita berlogat India menelpon, “Good morning, this is ******* from McKinsey”. Ternyata dia mau invite interview dan dia di KL, untuk keesokan harinya yang mana esok harinya adalah National Holiday. Terbayang kan, National Holiday saja mereka masih kerja, I imagined working in Consulting Firm is less sleep, life and vacation. Karena memang kebetulan manager nya sedang di Indonesia, makanya aku OK aja invitationnya. Ngeliatin IG yang sudah bekerja disana, McKinsey dan BCG udah terbayang kehidupan mereka, No Life.

Karena jujur saja, terlalu excited makanya langsung approve invitation-nya meskipun waktu persiapan sangat minim. Review CV, belajar business case, dan persiapan interview memang berat. Memang tidak maksimal belajar nya, tapi tidak masalah, interview must go on.

Oh ya, image McKinsey dari aku personally itu “mengerikan”. Kalau dilihat dari teman-teman yang disana, profile mereka beyond amazing. Mungkin kalian tahu lah requirement mereka dan orang-orang seperti apa yang bisa masuk McKinsey. If you guys are studying at Indonesia’s top tier school with outstanding profile with sequences achievement and organizational experience, pasti pede aja sih daftar ke McKinsey. Dan aku kalau tidak salah baru sekali daftar di McKinsey, untuk BCG sudah ke sekian kali dan tidak ada respon apapun. Sampai akhirnya hampir menyerah, ya karena sadar diri.

Biasanya requirement yang mereka butuhkan GPA diatas 3.7 from top tier university dan prestasi lainnya. Tapi jangan salah, if I see the requirement I will not be included into their bucket. Do not be worry, just apply it. Coba saja, toh tidak ada rugi nya. If you guys one of my friend who knows my GPA or major background, sometimes you’ll be laughing out loud to know that I am invited by this firm. This is an evidence that there is no limitation to you all, kalau memang mau coba-coba break the limit or limitation. Ternyata mereka tidak se-mengerikan itu kok. Jangan pedulikan perspectives atau stigma kalau mau apply ke McKinsey harus manusia sempurna all the way they have. Atau tidak perlu McKinsey, another something big tidak perlu khawatir.

Banyak stigma hadir di masyarakat (mahasiswa khususnya):
1. Harus top tier university. Mostly memang fresh graduate di ambil dari kampus-kampus bergengsi ini, tetapi banyak yang experience mereka dari kampus swasta di Indonesia.
2. GPA > 3.7. Atau 3.5 lah, kalau 3.7 terlalu lebay ya. Tetapi memang mereka mengambil mahasiswa-mahasiswa dengan GPA diatas rata-rata. Ini simply karena ya memang konsultan harus lebih pintar daripada client, inilah kenapa McKinsey mencari kandidat top tier di kampusnya. Karena lucu juga kalau konsultan nya tidak lebih pintar daripada client nya. Let say misal aku kerja di Pertamin* tetapi konsultan yang handle project nya adalah orang yang dulu di kampus terkenal awur-awuran dengan tidak ada prestasi atau academically in trouble.
3. Hebat-hebat. Karena McKinsey konsultan nge top, pasti isinya orang ngetop. But I believe someday orang-orang yang dibawah standar bisa masuk ke kriteria mereka by disregarding their background. Me contohnya.
4. Business case yang susah. Harus diakui memang business case yang diberikan oleh McKinsey cukup sulit karena mereka memberikan spesifik data dengan ukuran tertentu dan diminta untuk memberikan solusi. Bisa di coba sendiri harus memberikan solusi dalam waktu 2 menit in business matter.

Nah, pengalaman interview di McKinsey dari mulai persiapan sampai selesai cukup membuat jantung berdegup kencang. Interview dilakukan di Four Season Hotel, Gatot Subroto. Semalam sebelumnya aku searching-searching tips untuk interview di McKinsey, dan manager ini adalah orang india yang sedang ada project di Indonesia. Untuk step by step persiapan akan di jabarkan di bawah ini:
1. Apply di Career McKinsey langsung.
2. Siapkan CV yang detail, this is actually no benchmark about detail. Just make sure aja kalo orang baca CV mu bakal paham apa yang pernah kamu kerjakan. Bisa cek di google cara membuat CV di konsultan, ada dan cukup detail supaya punya oit standing point dan tell the recruiter that you are a detail oriented person.
3. Research: baca-baca business case nya memang cukup membuat otak bekerja lebih keras, mikir berkali kali maksud dari soal dan bagimana solusinya.
4. Interview preparation: email invitation mereka sangat professional, detail dan helpful. Bahkan mereka memberikan tautan link tentang bagaimana menghadapi interview di McKinsey. Setelah melihat video nya, jujur aku semakin tenang. Di dalam video tersebut disampaikan bahwa Interviewer di McKinsey itu sangat helpful, mereka membantu mengarahkan alur pikiran kita ke pencarian solusi paling efektif dan efisien bagi konsultan dan klien. Jadi, cerita-cerita orang di luar sana yang katanya intimidatif itu tidak benar, sama sekali tidak benar.
5. Interview: lokasi interview di restaurant Hotel. Dan waktu itu aku pakai baju rapi banget tapi interviewer malah bilang kalau terlalu rapi, banyak info beredar bahwa kalau mau interview di McKinsey harus pake jas, it doesn’t necessary kok katanya. Sampai di tempat interview ditanya tentang background seperti biasa, terus pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke business case. Waktu itu aku dapet business case di industri Telekomunikasi, tentang optimasi budget perusahaan dengan cara digitalization. Kurang lebih 1 jam interview dan impresi ku terhadap interviewer adalah baik, helpful, dan tidak menakutkan sama sekali. Malah dia yang nge direct kemana jalur pikiranku untuk memecahkan masalah bisnis. Dan dia bilang “I need a specific thing from your mind, please make it route on how you give a solution. Solution that you provide is matter, but the way you think on your way to solution is more important.” Ternyata mereka mencari orang yang tidak tiba-tiba menemukan solusi dari masalahnya, tetapi cara pola berfikir orang dalam menyelesaikan masalah. Dan mereka minta dengan sangat detail, betul-betul detail ketika mempertimbangkan solusi dari permasalahan harus ada evidence atau data yang harus di provide. Ini sesi yang seru banget, karena diskusi disini sangat menantang dan memecahkan satu per satu masalah dengan melihat hal-hal kecil yang impactful.
6. Done. Sangat ramah dan baik, jauh dari stigma orang-orang yang katanya intimidatif. Bahkan beberapa kali di interview orang india, sepertinya interviewer ini paling ramah dan paying attention to detail banget. Dan fokus.

Aku cuma mau bercerita bahwa sebetulnya limit-limit itu bisa di pecahkan asal kita mau. Jangan percaya stigma-stigma di masyarakat kalau ingin A harus mempunyai B. This is proven for me yang dari dulu selalu break limit standar yang di buat oleh orang-orang yang bersangkutan. Be confidence, you are just amazing what the way you are, really.

You Might Also Like

4 komentar

  1. Jadi Abang belum berkesempatan kerja di mc. Kinsey bang?

    BalasHapus
  2. Kak, sebenarnya kalau mau masuk McKinsey itu nilai rapot SMA berpengaruh atau nggak ya?

    BalasHapus
  3. Kak kalau mau belajar soal-soal interview mckinsey dari mana ya?

    BalasHapus