“Taufik, the day after tomorrow I will go to Sweden, I
really want to go there”, ucap Weimo dengan muka berser-seri yang menandakan Weimo
memang ingin sekali ke Sweden. Saat itu memang sedang istirahat, namun kami
hanya di kelas saja. Saya dan Weimo duduk bersebelahan.
Sambil membuka email dari HP nya Weimo berkata, “Fik, do you
want to go The Hague at Saturday? I could not come because I need to go Sweden!”,
ucapnya sambil menunjukan email dari panitia mengenai day trip ke The Hague.
“Really?”, tanyaku dengan muka gembira. Day Trip ke The
Hague ini adalah salah satu excursion tambahan yang diadakan oleh Amsterdam
Summer School dengan membayar 80 Euro, dan pendaftarannya pun sudah dilakukan
saat pendaftaran saat summer school. Sehingga sudah tidak ada lagi tambahan
kursi bagi yang ingin mengikutinya. Karena The Hague adalah salah satu kota
yang ingin aku datangi di Belanda, maka aku mengiyakannya.
Sehari sebelum Day Trip, malam-malam ada message dari Line
masuk.
“Eh besok mau ikut ga ke madurodam? Kalo gaada rencana sih”,
begitulah message dari Rosa mahasiswa dari Indonesia yang mengikuti program
Summer School sekampus denganku, bahkan se Apartemen denganku, dan se lantai denganku.
“Sek, sek. Nanti dibicarakan. Masih bingung nih. Berapaan
kesana?”, jawabku sambil menanya balik kepada Rosa.
Sehari sebelum keberangkatan ke The Hague itu aku dan
beberapa teman “Amsterdam Buds” yang notabene adalah grup Wasapp yang terdiri
dari tujuh orang dari berbagai course yaitu Aku, Majid, Sara(Brazil), Chan cho
kwan, Ceu pon, Prashant dan Mathias(Germany) berencana untuk makan malam
bersama di café wilayah Dam Square. Kebetulan kami semua di University Housing
yang sama meskipun berbeda gedung. Jam setengah 8 pun kami membuat appoinment
untuk bertemu di café housing supaya bisa berangkat bersama untuk makan malam
kami. Akhirnya kami bertemu disana, lalu ditambah 2 orang yang merupakan teman
dari Ceu Pon dari Hongkong yang sampai sekarang namanya sulit disebutkan, nama
mandarin memang sulit diingat bagiku!
Café-café di Dam Square banyak yang penuh, karena jumat
malam merupakan hari sebelum weekend holiday. Akhirnya setelah mendapatkan
restoran yang cukup tepat buat kami semua, namun tidak buat aku dan Majid. Di
restoran itu tidak ada label halal serta sudah menanyakan kepada pelayan disana
memang mereka tidak menjamin makanannya halal. Aku dan Majid mencari restoran
yang halal pastinya. Setelah 1 jam aku dan Majid selesai makan lalu kembali ke
restoran Amsterdam Buds lainnya. Kami mengobrol banyak hal disana seperti
tugas-tugas course kami yang banyak dan berbeda beda. Sambil berjalan-jalan
menikmati kota dimalam hari, kami bercanda-canda penuh tawa malam itu. Banyak
sekali pembicaraan pembicaraan yang menjelaskan kultur dari masing-masing
negara mereka. Sambil mengomentari kota Amsterdam yang indah ini.
Mereka semua pun sangat betah tinggal di Amsterdam ini, dan
aku juga pastinya. Amsterdam merupakan kota yang sangat tenang, damai,
sejahtera meskipun merupakan kota metropolitan. Kamipun sangat ingin suatu saat
nanti bisa bertemu kembali di kota Amsterdam ini selepas Summer School. Mengharukan
memang, bisa menemukan teman-teman yang baik dalam waktu yang sangat singkat.
Dibawah temarang lampu-lampu kuning kota Amsterdam(Di sini
kebanyakan lampu berwarna kuning, dan kamarkupun lampunya berwarna kuning.
Konon orang Belanda suka dengan lampu berwarna kuning, entah apa sebabnya.
Lebih romantis dan syahdu mungkin. Tapi memang sih, sangat Homy!) kami
menyusuri kota dengan melantunkan pujian-pujian tak habis-habisnya dengan kota
ini. Canda tawa kami malam itu memang sangat lepas, seperti tidak ada beban
apapun. Padahal tugas kami pun sangat banyak, beragam dan tidak habis-habis. Tetapi
pertemanan kami sangat indah dan menyenangkan.
Mathias pun yang sebelumnya sangat pendiam denganku,
sekarang dia banyak sekali cerita dan bertanya kepadaku.
“Oh God, my homework was so really hard fik. How can you live
with your every-day-with-coding?”, tanyanya. Karena tugas Mathias hampir setiap
hari coding, padahal dia kuliah di jurusan Medical. Bayangkan saja anak
kedokteran harus mengerjakan tugas coding yang hampir setiap hari, aku saja
yang kuliah di Computer Science masih sering kali kesulitan apalagi mereka yang
belum pernah menyentuhnya sama sekali. Dan dia tahu bahwa aku kuliah di
Computer Science. Dan thesisnya berhubungan dengan Data Mining yang mengharuskannya
belajar coding. Oh okay, good luck Mathias! Dia pun banyak sekali bertanya
kepadaku mengenai coding serta ke-Computer-Science-an lainnya. Dia sangat antusias
mengenai hal itu. Padahal aku saja sudah bosan!
Sambil tertawa-tawa di jalan yang sangat ramai orang, maklum
Saturday night memang selalu menawarkan kebahagiaan di kota ini. Semua orang melepas
penat dan bebannya disini. Lalu aku melihat seorang berkacamata hitam berkulit
putih dengan tampilannya yang khas.
“Weiimooooo!!!!!”, teriakku di kerumunan.
“What are you doing here? With whom you are coming here?”,
tanyaku.
“As usual, I am travelling alone. I am biking here”,
jawabnya dengan santai. Seperti yang sudah sebelumnya aku kasih tau kalau Weimo
celalu cendili, #eehh selalu sendiri maksudnya.
Lalu aku menanyakan tiketku ke Den Haag(nama lain dari The
Hague), tapi sayangnya Weimo tidak jadi pergi ke Swedia karena suatu hal. Sehingga
tiket ke Den Haag batal ia berikan kepadaku. Yah, sayang sekali.
Lalu Weimo melanjutkan perjalanannya sendiri, dia tidak
cukup nyambung dengan temanku yang lain alias Amsterdam Buds!
Setelah cukup berjalan-jalan kami memutuskan pulang sekitar
00:00, disana masih sangat ramai karena pukul 22:00 baru mulai gelap. Karena
kami lelah maka kami langsung mencari pemberhentian tram terdekat disana.
Sesampainya di Apartemen aku langsung menyambungkan HPku ke
Wifi lalu aku mengirimkan message kepada Rosa.
“Besok kalo udh bangun ketok kamarku yakk. Keknya mau ikut”
======
Esok paginya Rahmi yang merupakan sepupu Rosa mengetok pintu
kamarku. Lalu aku bilang bahwa aku ingin memasak dulu 10 menit untuk lunch ku
hari ini. Rahmi pun mengiyakan.
Flash Back perkenalanku dengan Rosa dan Rahmi.
Hai Taufik! Where are you came from?
Best Regards,
Rosa.
Sepucuk email yang ternyata
sudah dikirimkan dari kemaren namun tidak terbaca karena masuk di Spam. Tiba-tiba
seperti sesak nafas, shock kaget dan sebagainya. #Lebay. Terlebih aku langsung merasa
jadi TKI, karena pertanyaan itu.
Where are you came from? = Kamu didatangkan dari mana? #Ala taufik translator
Sebenarnya aku mau jawab aku
didatangkan dari langit, bidadara sepertiku memang banyak perdebatan
didatangkan dari mana #ehhh #skip. Serasa jadi TKI yang disalurkan oleh agent
untuk bekerja di luar negeri. Jadi aku didatangkan? Oh God! Memang didatangkan
sih dari NESO tapi kan gini juga. But, Oke fine!
Setelah aku jawab dari
Indonesia dan tinggal disini ternyata dia satu gedung dan satu lantai denganku.
Bagaimana bisa aku tidak mengerti mereka?
Waktu aku akan menemui ilus
beberapa hari yang lalu aku melihat mereka, anak baru yang sedang diantarkan
Madeline ke kamarnya yang hanya berjarak 3 kamar dari kamarku. Namun aku hanya
say Hi dengan Madeline dan say Hi dengan mereka, Rosa dan Rahmi. Aku mengira
Rosa dan Rahmi berasal dari Malaysia atau Singapore jadi aku yang sedang
terburu-buru pun tidak sempat berkenalan dengan mereka.
“Madeline, I need to go
first! See you!”, ucapku sambil nyelonong pergi melewati mereka dengan
mengenakan hoodieku.
Setelah seharian
beraktifitas, aku pulang sekitar pukul 22.00 dan aku mengetok kamar mereka. Mereka
sebenarnya berbeda kamar tapi karena cewek ya tau sendiri, mereka ke toilet aja
bareng-bareng apalagi tinggal di negeri orang?
“Rosa!”, sambil mengetok
kamarnya.
“Hoiii.’, kami langsung
berkenalan.
Di depan pintu kamarnya kami
mengobrol asal kami masing-masing sampai akhirnya mereka ala-ala ibu-ibu
komplek penggosip.
“Tau ga, tadi pagi ada bau
gosong dari dapur. Mungkin memang masakannya gitu kali ya atau dia ga bisa
masak!”, ucap mereka.
“Woiiiiii, itu gueeeeeee!”,
jawabku. Aku langsung menjelaskan bahwa tadi pagi merupakan hari pertama aku
memasak. Aku memasukan roti ke dalam microwave, karena menurutku yang pertama
baru 1 menit lalu aku memasukan lagi kedalam microwave. Baru 1 menit pertama,
sudah keluar asap yang banyak sekali dari microwave.
“God!!!!”, ucapku. Ternyata
roti yang aku panggang sudah gosong, bahkan sudah hitam dan mengeluarkan asap. Asapnyapun
sampai kemana-mana. Yang ternyata sampai tercium dikamar Rosa yang berada
ditengah-tengah itu. Bagaimana dengan yang dekat dapur? Arrrgghhhh! Akhirnya
sampai sekarang tidak pernah menggunakan microwave itu untuk sarapanku. Say no
to microwave! Kapok!
“Hahahahahahaha”, mereka
tertawa bahagia atas kekonyolanku itu. Tak henti-hentinya mereka tertawa, itu
adalah hal yang memalukan sebenarnya tapi yasudahlah. Sudah terjadi ini.
Lalu aku juga bercerita
bahwa malam itu sebelum aku pulang, aku memasak kentang goreng di Apartemen
Majid. Saat aku memanaskan minyak, banyak sekali asap yang keluar dari wajan.
“Wiiiiiuuuuuuu wiiuuuuuuu
wiiiiiiiiuuuuu”, suara keras dari alarm kebakaran pun berbunyi.
Akupun langsung panik
seketika karena setahuku kalau ada alarm kebakaran maka aku harus lari,
sedangkan majid sedang di balkon dapur.
“Majiiidddd!!!!”, teriakku.
Aku berencana mengajaknya
lari keluar, tetapi aku melihat cowok itu mengipas-ngipas alarm dengan bukunya
itu sambil manjat-manjat meja. Dia cuma diam dari tadi, dia memang sibuk
mengerjakan tugasnya itu.
“Is the alarm ringing
because of this?”, tanyaku sambil panik kepada cowok itu sambil menunjuk wajan
penggorengan didepanku.
“Yes! Of course!”, jawabnya
dengan sentimen yang tidak mengenakan. Ya Tuhan, ternyata gara-gara aku memasak
kentang goreng ini! Kena semprot deh!
“I am sorry dude”, ucapku
dengan mimik muka bersalah. Lagi-lagi karena ketidaklihaian ku dalam memasak
membuatku panik!
Lalu Rosa dan Rahmi pun
semakin tertawa terbahak-bahak saat aku menceritakan hal itu. Akupun juga ikut
tertawa atas segala kekonyolan yang aku perbuat. Akhirnya malam itu perkenalan
kamipun berujung dengan canda tawa tengah malam, di depan kamar mereka.
Cukup flashback perkenalan
dengan mereka.
Setelah kami semua siap,
kami segera berangkat menuju tram untuk pergi ke Amsterdam Zuid Station. Cuaca
nya pun sedang mendung, tetapi tidak hujan. Langkah kaki kamipun kesana dan aku
membeli tiket untuk direction Den Haag Central. Setelah melalui mesin check in
yang membingungkan kami naik ke stasiun. Namun karena kami belum yakin kami
sudah check in atau belum akhirnya kami turun kembali menanyakan kepada petugas
mengenai cara check in yang benar.
Jalan menuju Stasiun Amsterdam Zuid
Sampai di Stasiun Amsterdam Zuid
Pemandangan dari stasiun
Selfie di stasiun
Aku menunggu di dalam,
mereka pun keluar dan harus melakukan setting terhadap kartu OV Chipkart nya. Karena
ternyata harus didaftarkan terlebih dahulu OV Chipkart mereka.
Setelah kami naik lagi,
jadwal paling cepat adalah pukul 10:20. Sambil mengabadikan moment disekitar, kereta
pun telah datang.
Di perjalanan kamipun,
banyak sekali hamparan sawah atau perkebunan yang sangat rapih. Iya, Belanda
memang terkenal juga akan pertaniannya. Selain rapih, petani menggunakan
peralatan canggih untuk melakukan semua pekerjaannya, tidak seperti indonesia
yang hampir semua pekerjaan petani dilakukan dengan manual. Kamipun duduk di
lantai 2 pada sebuah kereta Intercity menuju Den Haag Central, juga tidak
terlalu banyak orang yang lalu lalang.
Rahmi-Rosa dikereta
Suasana di kereta. Wifiiii!!!!
Suasana di kereta intercity lantai 2
Pemandangan luar
“Yaah, hujan!”, ucapku dalam
hati.
“Salah kostummm!”, ucap kami
bertiga.
Semua orang dengan segala
persiapannya seperti jaket tebal, payung maupun jas hujan. Kami mengenakan baju
biasa ala musim panas di Amsterdam atau ala Dry season di Indonesia. Dingin
banget!!!
Kamipun langsung mengecek
ramalan cuaca hari ini melalui HP kami. Dan ternyata hari ini akan ada Summer
Storm berkecepatan 120 km/jam di Belanda. Dan itupun sudah di peringatkan oleh
teman ayah si Rahmi bahwa kami diperingatkan hari itu cuaca buruk dan dilarang
untuk pergi atau dekat dengan pohon, karena berpotensi roboh. Dan hari
sebelumnya pun aku sudah di informasikan Professor Wim bahwa cuaca hari itu
akan tidak bagus, namun kami menghiraukannya.
“Ya Tuhan, inimah salah
waktu!“, ucapku dalam hati. Hujan deras dengan sapuan angin yang berhasil
membuat payung-payung terbalik dan rambut serta baju orang-orang terkibas
dengan kencangnya.
Kami pun memutuskan untuk
menunggu sesaat karena siapa tahu cuaca akan membaik, namun karena tidak ada
tanda-tanda cuaca akan membaik maka kami nekat menerjangnya. Pastinya demi
Madurodam, kita udah jauh-jauh ke Den Haag, men! Kalau tidak jadi ke Madurodam
kan sayang!
Suasana dari dalam tram di Den Haag
Madurodam merupakan tempat wisata
yang berisi miniatur-miniatur negara Belanda dalam satu wilayah. Miniatur
tersebut di buat semirip mungkin dengan aslinya, bahkan dengan detail yang
sangat mirip dengan bangunan aslinya. Di dalamnya tidak hanya bangunan yang
berada di Amsterdam, namun yang berada di Utrecht, Leiden, bahkan Groningen.
Di depan Madurodam
Madurodam
Suasana depan Halte tram Madurodam
Luasnya pun kemungkinan
sebesar lapangan bola yang memunginkan kami bisa mengunjungi satu-persatu miniatur
yang ada. Tidak hanya bangunan-bangunan tua yang ada disitu, namun seperti
kecanggihan-kecanggihan teknologi yang dimiliki Belanda pun terpampang jelas
disana. Misalnya sistem pengairan disana, atau mungkin jembatan yang disana. Ternyata
banyak sekali tempat yang harus dikunjungi di Belanda, karena baru sebagian
kecil yang baru aku kunjungi dari miniatur itu.
Sambil kedinginan kami satu
persatu mencari spot foto yang bagus untuk diabadikan, hujannya tidak terlalu deras namun angin yang datang memang membuat kami benar-benar kedinginan
disana.
“Ini mah udah mati rasa!”,
ucap salah seorang dari kami.
“Fik, itu tutup napa
bajunya!”, ucap Rahmi sambil menunjuk kemejaku yang tidak dikancingkan serta
digulung setengah.
Karena angin semakin kencang
menerpa, kami memutuskan untuk segera masuk ke dalam galery shop yang ada di
Madurodam. Tujuan pertama kali kami pastinya untuk mencari tempat berteduh. Kami
yang tidak kuat dengan dinginnya cuaca waktu itupun juga mencari kamar mandi
untuk menghangatkan badan, pikirku bakal ada air hangat disana tetapi ternyata
tidak. Untungnya ada hand dryer yang cukup mengeringkan baju yang basah, dan
hangat dong pastinya. Biarlah orang berkata apa, tapi itu beneran anget, men!
Setelah itu kami pergi ke restoran
yang letaknya di seberang toilet, akhirnya mereka berdua memesan Hot Chocolate.
Rahmi pun mengeluarkan biskuit yang ia bawa dari apartemen. Karena aku lapar,
aku berniat untuk share makananku yaitu hanyalah nasi dan nugget yang sudah aku
masak tadi pagi.
“Nihh, kita makan bertiga!”,
ucapku kepada mereka.
Rahmi dan Rosa pun
sepertinya agak sangsi melihat makananku, dengan pelan aku menjelaskan bahwa
aku tidak sempat memasak yang lain karena tadi sedang terburu-buru. Ternyata
bukan itu!
Saat mencicipi nasinya
mereka pun seperti terlihat aneh, sambil aku menjelaskan bahwa nasi disini
ternyata cukup beda dengan nasi di Indonesia, disini lebih keras. Mereka berdua
pun mengangguk ragu sambil mengunyah nasi masakanku.
Nasi itu nasi instant yang
aku beli di Supermarket Jumbo, iya benar nasi instant. Cara membuatnya pun
sangat mudah, dalam satu plastik tinggal di cemplungkan ke air mendidih selama
10 menit. Sebenarnya 10 menit ini aku juga masih ragu karena instruksi nya
bermuatan bahasa Belanda. Aku sih cuman kemungkinan aja, karena ada tulisan 10
menit disitu. Dan aku selama seminggu itu makan nasi itu, kok! Dengan cara itu
juga.
Mereka yang sudah mencoba
nasiku akhirnya menyuruhku untuk menghabiskannya.
“Kalian gak pernah makan
nasi aking sih! Kan pasti nasi aking lebih keras, biarpun aku belum pernah
memakannya sih. Dasar cewek-cewek manja!”, ucapku dalam hati pastinya. Karena
kalau diucapkan bakal ditimpuk sama mereka. Dan apabila mereka membaca blog ini
pasti aku bakalan ditimpuk juga!
Emang agak keras sih kalau
dibandingkan dengan nasi yang biasa aku makan di Indonesia, tapi ya namanya
orang Indonesia kalau gak makan nasi ya gak makan. Aku sih makan-makan aja.
Setelah itu karena cuaca
sedikit membaik, sedikit ya. Cuman sedikit. Dan kayaknya tetep dingin-dingin
aja. Kami pun kembali mengitari Madurodam ini yang belum sempat kami datangi. Selesai
foto-foto pun kami berencana melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Binnenhof. Namun
karena cuaca yang sangat tidak bersahabat kami memutuskan untuk pulang ke
Amsterdam.
Keluar dari Madurodam kami menunggu
tram di seberang jalan. Anginpun semakin membabi buta. Kaki kami sudah membeku
kedinginan. Tidak seperti biasanya bahwa halte yang ada ada tutupnya pun
ternyata nothing. Halte kosong!
“Coba deh cari jadwal di 9292”,
ujarku agar mereka membuka jadwal tram di HPnya.
“15 menit lagi”, ucap Rahmi
sambil tangannya menelungkup karena kedinginan. Serbuan angin, ketiadaan penutup
halte, kesalahkostuman dan ketidak-aware-an kami terhadap ramalan cuaca membuat
kami bisa mati kedinginan disana.
“Akuuuuuu leeeeeelllllaaaaaaaaahhhhhh”,
kesal Rosa yang dari tadi ngomel-ngomel lelah mulu. Dia pun berucap dengan
bibir bergetar menandakan ketidakkuatannya atas dingin yang menerpa. Mungkin
dia belum pernah di perlakukan sedingin ini oleh cowoknya #eeehhhhh, makanya ia
lelah.
“Iya a a a, k k a a l l I I a a n n lelah gegara sibuk ngebenerin
jilbab kalian”, ucapku bersambut tawa kami disaat kedinginan.
“Tiga menit lagi”, ucap Rahmi
menenangkan.
“Lima belas menit disini
kayak winter 10 tahun”, ucap Rosa.
“Ya enggak lah selebay itu”,
jawab Rahmi.
Setelah 15 menit tidak juga
ada tanda-tanda tram bakal datang. Kami yang benar-benar kedinginan waktu itu
pun ahirnya lari ke seberang jalan dimana ada bus pariwisata yang parkir
disitu. Kami berlindung di belakang bus, karena takut apabila kami kembali ke Madurodam
maka tram akan lewat. Dan saat itu kami sudah kesal, lelah, kedinginan pun
akhirnya mencari jalan keluar.
“Kita naik bus aja!“, ujar
Rahmi. Kita terpaksa harus berpindah dari belakang bus karena bus akan pergi.
Tiba-tiba di seberang jalan
ada tram yang datang. Akhirnya kami lari melewati jalan raya yang untungnya
sepi itu. Sampai tepat kami berada di halte tram, ternyata tram yang seharusnya
berhenti didepan kami pun jalan terus.
“Shiittt!!!!”, ucap kami
bertiga sambil menghela nafas panjang.
Sambil kami memohon maaf
kepada Tuhan salah apa kami hari ini sampai bertubi-tubi gini!
Akhirnya kami mencari halte
bus terdekat meskipun sekitar 200 meter dari halte tram. Kami menunggu cukup
lama disana.
“Kok nambah sih!”, ucapku
sambil menunjuk waktu kedatangan bus yang sebelumnya tinggal 3 menit menjadi 4
menit.
“Arrrrggghhhh!”, gerutu kami
sambil kesal tiada tara. Dan bus pun tak kunjung datang sampai count down sudah
menunjukan 0.
Lalu ada tram lagi diseberang
jalan, dan kami segera lari lagi untuk mengejar tram itu. Belum sampai di halte
pun ternyata tram sudah pergi lagi.
Disitu rasanya kami pengen
naik elang saja. Ya Tuhaaaaaaaaan, kirimkanlah kami elang seperti di
Indosiaaaaarrr!!!!!!!!
Belum sempat kami menghela
nafas, dibelakang ternyata sudah ada tram lagi. Lalu kami lari kencang untuk
naik tram tersebut.
“Akhirnyaaaaaaaa ya Allaah……………”,
ucap kami bertiga sambil kelelahan, kedinginan dan semua campur aduk yang ada.
Karena aku tidak yakin kalau
jurusan Amsterdam Central akan melewati Amsterdam Zuid(Kami harus turun disini)
maka aku berinisiatif untuk menanyakan ke Information Center. Aku meminta izin
mereka untuk ke Information Center yang letaknya sekitar 100 meter dari tempat
kami berdiri. Sebelumnya pun kami sedikit berdebat dibawah layar monitor untuk
menentukan ke platform mana yang akan kami ambil. Sudah bertanya kepada ibu-ibu
pun jawaban tidak ditemukan.
“Excuse me, where is the
direction to Amsterdam Zuid?”, tanyaku kepada mbak-mbak yang berjaga.
“Mmmmmhhhh, Amsterdam Zuid
in Platform 10. Oh God, two minutes left! Go go go. You must be running!!!!!”, ucap
mbaknya sambil agak panik karena kereta sudah datang.
Kepanikan mbak-nya pun
membuatku ikut panik juga, aku lari kencang untuk menemui Rosa dan Rahmi yang
berada di Platform 9. Sambil menggunakan bahasa isyarat mereka mengikuti jalanku
untuk lari mengejar kereta di Platform 10 yang katanya akan berangkat 2 menit
lagi itu.
“Ayooo cepaaatt, tinggal 2
menit lagi!!!!!”, ucapku dengan bahasa isyarat pastinya.
Lalu akhirnya kami bisa
masuk kedalam kereta!
“Alhamdulilaaaaaahhhhh!!!!!”,
ucap kami bertiga. Dan ternyata aku lupa kalau Rosa mengenakan baju putih
ternyata Hot Chocolate nya tumpah ke lengan bajunyaa!
Akhirnya aku meminta maaf
kepada Rosa karena aku memaksanya lari untuk mengejar kereta sambil ia mengelap
bajunya dengan tissue.
Sesampainya di Amsterdam
Zuid kami menunggu tram menuju Uilenstede, tempat kami tinggal.
Setengah jam berlalu.
Tidak ada tanda-tanda datangnya
tram.
Lalu di kerumunan halte
seberang, si Rahmi mendengar bahwa tram diberhentikan sejak pukul 3 karena
Summer Storm yang terjadi!
Beberapa kali kami
menyebrang jalan raya itu karena ketidakpastian kami akan menaiki bus nomor
berapa. Akhirnya kami menemukan bus 55 yang melewati Uilenstede! Itupun penuh
dengan tanya-tanya kepada orang, sopir atau melihat-lihat map yang ada di
setiap halte.
“Ohh God! So
tiring!!!!!!!!!!!!!!!”, ucapku dalam hati. Dinginnya itu loh, kami gak kuat.
Akhirnya kami mampir ke
Supermarket terlebih dahulu untuk berbelanja untuk memasak makan malam nanti.
Sesampainya di Apartemen
kami sholat dan akhirnya memasak. Di dapur pun kami masih tertawa-tawa atas
kekonyolan hari itu. Atas semua trip yang sangat not well-planned banget. Atas
semua kejadian ketinggalan tram, lari mengejar kereta hingga diberhentikannya
tram karena Summer Storm.
Kami memasak nasi goreng seadanya,
mereka yang belum pernah memasak selama Summer School ini pun mengajariku cara
memasak nasi yang benar.
“Alhamdulilah ya, baru kali
ini kita makan nasi”, ucap Rosa saat berbicara dengan Rahmi.
“Aku juga, baru kali ini
makan nasi”, ucapku diiringi tawa lepas oleh kami semua karena nasi yang aku
masak ternyata tidak pernah matang dan mereka menyebutnya aku makan beras
selama ini!
Amsterdam, 27 Juli 2015.
18:41
- 23.42
- 0 Comments